Selasa, 02 September 2014

cerpen


Arti sebuah nama panggilan



Nama adalah sebuah do’a dari orang tua untuk anaknya. mereka pasti akan membungkus anaknya dengan nama yang indah. Sama halnya dengan aku, aku diberikan nama yang begitu baik artinya. Rufaidah Sayyidah Al-Anshoriyah, nama yang begitu panjang.  Dan dari ketiga nama itu pun tidak ada satu pun yang bersahabat dengan lidah Indonesia. Benar saja, semenjak aku sadar dengan kehidupan dunia. Tepat pada usiaku yang ke 4 tahun. Orang sekitarku kesulitan memanggil namaku. Dari ketiga nama yang disodorkan itu, mereka hanya mengingat nama awal. Itu pun harus butuh waktu yang cukup lama dan pengingatan-pengingatan yang sering dilakukan ummi kepada orang sekitar yang bertanya “Siapa nama anaknya bu”.

Aku pun tumbuh dan semakin mengerti arti kehidupan, semakin hidup bersosial, dan semakin banyak kenalan. Tibalah aku pada masa SD, sebenarnya SDku pindah-pindah. Di mulai dari kelas satu SD di SDN, kemudian pindah ke SDIT, dan hingga lulusnya kembali lagi ke SDN namun beda tempatnya. Alasannya adalah karena aku masuk SD terlalu cepat dan ummi mengiginkan anaknya masuk ke SDIT namun ternyata di SDIT pun aku tidak kuat, karena pelajaran di SDIT sangatlah berat dan tidak sepadan dengan otak anaknya yang berusia lebih muda dari teman-temannya yang masih lebih senang bermain dari pada belajar. Nah di SDN yang terakhir inilah hidup terasa lebih berwarna, karena mereka yang lebih merakyat. Di sinilah bermulanya nama panggilan yang unik untukku. Aku ingat sekali, saat itu sedang ramai-ramainya Smack Down. Tapi saat itu pula ummi dan abi melarang aku untuk megkonsumsi tayangan itu. Tapi yang namanya anak, semakin dilarang semakin penasaran. Aku pun mencuri-curi untuk menontonnya, jadi punya bahasan kalau teman-teman sedang membicarakan tayangan itu. Katakana saja saat itu aku suka sekali dengan Jhon cena, sebenarnya bukan karena apa-apa. Sungguh aku hanya ikut-ikutan belaka, kalau sekarang aku lihat tempelan si Jhon cena itu di lemari belajarku, rasanya tidak menarik sama sekali,  ingin dicopot susah karena lemnya merusak meja belajarku.  Teman-temanku saat itu masih sangatlah rumit untuk memanggil namaku, untuk memanggil Rufaidah saja mereka masih sangat sulit dan suka terbalik-balik. Saat sedang berbincang-bincang mengenai Smack Down di halaman masjid samping rumahku, celetuklah Indra memberikan masukan untuk nama panggilan baruku saat itu.
“Nama lu ribet banget sih perasaan, gue aja ga apal-apal ampe sekarang.” Celetuk Indra yang menoleh kepadaku dan diamini oleh teman-teman lain yang saat itu sedang berkumpul.
“hah, apa iya? Gampang ko, cuma Rufaidah aja. Ribet dari mananya?” jawabku yang juga menoleh kepadanya.   
“Gini aja deh, kan nama lu Rafidah ya.” Tangkas Indra. Tapi belum selesai sudah aku potong karena ia salah menyebutkan namaku.
“Eits!!! Dra, nama gue Rufaidah. Bukan Rafidah!” Sembari memukul bahunya.
“Eh iya maksud gue Rufaidah, tuhkan gue lupa.” Katanya sambil mesem-mesem.
“Gimana kalau gue panggil lu RVD aja?” terusnya sambil menampakan wajah bertanya kepadaku.
“Nah bener tuh Dra, RVD aja. Singkat dan emang lagi fenomenal juga, jadi gampang ingetnya. Ro Ven Dam tuh keren” Sambung cici yang saat itu berada di sampingku sambil melempar senyum kepadaku.
“Hmmmmm. Boleh aja sih, bagus juga.” Kataku menyetujui.
“Bukan gitu sih ci, RVD kita anggep aja singkatan nama Rufaidah. Gue ga ada niat bikin lu keren ya er!” Sambut Indra dengan panggilan barunya itu.
 
Nah dari sanalah aku mendapatkan panggilan baru, nama Rufaidah disingkat menjadi RVD karena katanya untuk mempermudah. Dan benar saja, sejak saat itu semua orang memanggilku dengan sebutan RVD. Baik yang tua mau pun yang muda, hihi. Namun ternyata nama itu menjadi do’a. luluslah sudah aku dari jenjang Sekolah Dasar (SD) dan melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Di sini aku benar-benar menjadi seorang RVD, karena ekskul yang aku ikuti adalah Karate. Dan Karate disekolah berbeda dengan Karate yang ada dikelurahan dekat rumahku. Di sini aku dilatih menjadi kuat fisik dan tahan banting, kalau lagi tanding saja kita tidak diperkenankan memakai alat perlindungan dan Karate di SMPku menganut ajaran Full Body Contac. Dan saat itu aku benar-benar menjadi seorang yang kuat seperti RVD dalam tayangan Smack Down. Bukan hanya itu, aku pun menjadi sangat tomboy. Padahal saat SD aku sangat kalem dan adem ayem. Temanku rata-rata laki-laki (meski lebih tepatnya adik kelas laki-laki), bahkan saat aku sedang akrab dengan perempuan, teman-temanku mengaggap perempuan itu pacarku. Gila memang sungguh gila mereka itu. Tapi ternyata belum cukup sampai situ. Rumah yang tak menentu pun membuat aku harus banyak beradaptasi, tapi nama RVD itu masih berlanjut. Masih kelas tiga SMP, namun mempunyai teman rumah yang berbeda. Saat itu aku sedang menetap di suatu kampung di kelurahan Puspanegara, saat teman-teman baru yang kudapati di sana menanyakan siapa namaku, maka aku jawab dengan “Panggil saja aku RVD” awalnya mereka kebingungan, namun setelah aku jelaskan bahwa RVD itu singkatan dari Rufaidah, maka mereka pun mengerti. Dengan suara yang menggelegar yang khas serupa laki-laki, nama RVD itu pun menjadi sangat mereka yakini. Jadilah aku berciri khas si suara laki-laki saat itu, dengan ditopang gaya tomboyku yang khas pula. Karena menggunakan hijab tapi gelagatnya, ah sudahlah itu kenangan yang sebenarnya membuat sesak di dadaku tiap kali menceritakannya.

Naiklah aku ketingkat jenjang yang lebih tinggi yaitu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Melanjutkan sekolah dari SMP ke SMK bukanlah pilihan yang benar-benar diyakini oleh hati, sebab aku sangatlah bingung memilih SMA atau SMK. Aku sudahlah bosan dengan kurikulum SMA yang sepertinya juga tidak jauh beda dengan SMP, pikirku saat itu. Namun masuk SMK juga terlalu banyak pilihan yang membuat aku malah jadi kelimpungan sendiri. Akutansi adalah jurusan yang aku tuju untuk jenjang SMK ini, menjagokan diri yang padahal sama sekali tidak mengusai ilmu matematika dan pribadi yang malas sekali dalam hal hitung-menghitung ini. Awal tes masuk aku mencoba tes ke SMKN pertama di Kota Bogor, tapi memang tidak direstui aku pun gagal. Daftarlah lagi aku ke SMK swasta yang berjarak dekat dengan jagorawi daerah Citeureup. Saat itu pun aku mencoba dengan tes jurusan Akutansi, masih nekat saja rupanya aku ini hehe. Tapi memang bukan bakatnya di sana, aku pun gagal lagi. Namun karena ini swasta jadi tidak sampai harus terkatung-katung mencari sekolah lagi, aku hanya dialihkan jurusan oleh pihak sekolah. Tapi inilah malapetakanya. Seorang tomboy seperti aku ini dipilih untuk masuk jurusan Adm. Perkantoran. Oh no, rasanya kiamat memang sudah dekat. Dan benar saja, saat awal masuk dan ku tengok kanan kiri yang terlihat hanyalah manusia-manusia cantik. Ya, dari kurang lebih 35 murid semuanya adalah perempuan. “Kelas macam apa ini.” gerutuku saat awal memasuki kelas itu. Saat itu pun aku sekelas dengan teman SMPku yang dulu kita sama sekali tidak dekat, wajar saja karena dia itu perempuan, hihi. Nama RVD masih melekat namun belum booming, karena awal masuk aku belum terlalu tenar, haha. Namun candaan kecil dikelas saat itu mengubah panggilan RVD menjadi, ah malu sebenarnya aku mengatakannya. Ya, jadi saat itu aku sedang bercanda-canda dengan temanku satu kelas yang bernama Sita. Dia memanggilku dengan sebutan Odah. Dan dari situlah nama RVD berganti menjadi Odah. Alasannya adalah karena  aku itu usil. “Nama Odah itu pantes buat elu.” Ujar Sita sambil cengegesan. Awalnya aku tidak mengamini panggilan itu, tapi apa daya. Semua teman kelas sudah mengenalku dengan sebutan Odah, Sita memang pintar mengkelabuhi teman sekelas saat itu. Menjalarlah panggilan ini kepada semua kelas, bahkan kaka kelas pun turut andil memanggilku Odah. Karena saat SMK aku aktif dalam kegiatan apa pun yang diselenggarakan sekolah. Dengan sikap caper dan supel, mudahlah aku dikenal banyak orang, (pdnya hehe).

Sekitar kelas tiga semester dua, tepat dengan agenda pusing ria karena harus berkelumit dengan soal-soal UN dan Ujian Praktek. Aku mendapatkan ilham yang datang secara tak sengaja. Tepat seminggu setelah aku mengikuti audisi X-Factor Indonesia yang tak menghasilkan apa-apa selain capek dan sesal harus membolos satu hari demi audisi, aku mendapati agenda Camp dari ummi. Acara Camp ini yang mengadakan adalah kumpulan anak kader dari salah satu partai politik. Awalnya aku ragu untuk ikut, karena aku tidak pernah simpatik pada kegiatan ummi atau abi pada partainya itu. Namun karena acaranya menarik aku pun mengiyakan tawaran ummi tersebut. Dengan celana gunung, kaos panjang milik abi dan kerudung langsung ukuran M aku melangkahkan kaki dari depan gerbang DPD yang bertempat di PEMDA Kab. Bogor. Betemulah aku dengan banyak kawan perempuan di dalamnya, dan yang membat aku malu adalah, mereka semua menggunakan rok dan kerudung yang panjangnya aduhai bukan main. Aku hanya berharap ada perempuan yang juga menggunakan celana dan bergaya seperti aku dalam acara ini nantinya.  Dan Alhamdulillah Allah mendengar do’aku, beberapa menit setelah aku terpojokan karena merasa salah kostum, datang rombongan dari cilebut dan diantara mereka ada perempuan yang bergaya santai dan mengenakan celana gunung juga. Ah lega rasanya, setidaknya ga cuma gue yang salah kostum. Singkat cerita acara pun berlangsung, dan saat kaka-kaka yang menggunakan jilbab yang panjangnya aduhai itu berkenalan dan mengejakan namaku perkata, mereka langsung menyimpulan namaku dengan sebutan Rufai. Tanpa mengelak aku langsung mengamini panggilan mereka itu. Entah apa artinya, namun sampai sekarang aku merasa lebih hikmat saja dipanggil Rufai. Karena Rufai adalah nama panggilan yang membawa aku menjadi muslimah yang sebenarnya pun membuat aku sampai pada kampus dengan jurusan Pend. Agama Islam ini. Dari Rufai inilah pula seorang Rufaidah Sayyidah Al-Anshoriiyah menjadi manusia yang lebih baik lagi. Rufai adalah nama hijrahku yang kubanggakan sampai detik ini. Meski kadang ada saja yang melestkan nama Rufai menjadi Upey atau lebih kejamnya lagi adalah Upay. Tapi yang jelas, nama ini adalah nama yang dilahirkan oleh kaka-kaka berkerudung panjang yang aduhai itu, mereka yang menjadi peratara Allah dalam menyadarkan aku akan hidup di duniaNya. Dengan panggilan Rufai ini pula aku meninggalkan si RVD yang senangnya berantem dan gaul sama cowok atau Odah yang senengnya ngeband aliran keras . Dan dari panggilan Rufai juga perempuan yang tomboy ini menjadi lebih santun, menjadi lebih mengerti untuk apa hijab yang sedari kecil ia gunakan dan bagaimana hijab yang sebenarnya layak untuk perempuan.

Setelah cerita panjang mengenai nama panggilan dan maknanya, kalian tahu ga apa alasan orang tuaku memberikan nama Rufaidah Sayyidah Al-Anshoriyah kepadaku?. Sedikit cerita, menurut sejarah yang diceritakan ummi kepadaku. Rufaidah adalah seorang perawat pertama di negeri Anshor, entah pada peperangan apa aku lupa, seorang Rufaidah ini adalah perawat yang sangat lembut. Kalau tidak salah di film Omar, Rufaidah ini berperan. Tapi mengobati siapa dan berada di episode berapanya aku pun lupa, hehe. Penambahan kata sayyidah adalah seorang yang syahid. Jadi sebenarnya ummi dan abi menginginkan anaknya seperti sosok Rufaidah Al-Anshoriyah yang mati syahid dijalan Allah. Begitulah kiurang lebihnya keinginan mereka. Dulu aku beranggapan aku harus menjadi perawat untuk menjadikan namaku itu hidup. Tapi ternyata tidak, setelah panggilan RVD dan Odah diubah menjadi Rufai, aku makin yakin untuk menghidupkan namaku itu dalam ranah dakwah yang sedang aku telusuri saat ini. bersama organisasi dakwah dan komunitas dakwah, aku akan menghidupkan nama Rufaidah Sayyidah Al-Anshoriyah ini seperti Rufaidah pada masa dulu. Meski tak sama kerjanya tapi kami sama-sama berjuang dijalan Allah, menegakkan agamaNya, dan rela mati dalam perjuanganNya. Meski dari ketiga nama panggilan itu tak satu pun ummi setuju, setidaknya ada kisah menarik dibalik nama panggilan itu. Tapi tetap saja, sebaik-baiknya nama panggilan. Nama asli adalah nama yang penuh dengan keberkahan, nama tanpa dusta dan cacat dimataku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar