Menjadi anak pertama dan terakhir bukanlah perkara mudah. Sudah
sejak lama aku menginginkan hadirnya adik untuk mewarnai hidupku yang rasanya
sangat merugi ini. Pun umi. Ketika menantikan kehadiranku dari 2 tahun setengah
lama pernikahannya, umi berharap ada lagi yang akan keluar dari rahimnya. Tapi sudah
17 tahun aku hidup, adik itu belum hadir juga untukku dan umiku. Aku kecil
adalah aku yang begitu pasrah dengan keadaan. Abi yang berprofesi hanya sebagai
cleaing service di masjid besar milik perusahan semen terbesar dan umi yang
hanya berjualan di pinggir jalan masjid itu membuat aku merasa akulah orang
yang paling merugi. Caci-maki dari teman-teman sudah menjadi makanan
sehari-hari. Belum lagi pertengkaran Umi dan Abi yang selalu menghiasi hari
demi hari yang berganti. Sekolah dasar adalah masa di mana aku benar-benar
lemah.
Rasa dendam terhadap keadaan kian membentuk aku menjadi
seorang preman di sekolah. Sekolah Menengah Pertama menjadi saksi pembalasan
dendamku terhadap keadaan. Dengan bergabungnya aku bersama Ekskul Karate
Kyokushin Kaikan yang dari tahun ke tahun di dominasi oleh laki-laki. Aku membentuk
pribadi yang jauh dari kata “Anggun”. Teman-temanku mayoritas kaum adam yang
brandal menurut mata mereka yang hemat pandang. Karate mendidiku menjadi kuat
dan itu nyata. karena hampir semua mata yang memandang anak karate adalah
anak-anak yang jago berantem dan kuat. Teman SD yang dulu mencaci-makiku. Kini tunduk
patuh pada perintahku. Sekolah menengah Pertama adalah masa di mana aku merasa
akulah pengusa dunia.
Kehidupan semakin carut dan marut. Jangankan arah, tujuan
hidup saja aku tak tau mau kemana. Suasana keluarga yang semakin menyempitkan
arah pandangku terhadap hidup. Pergaulan yang semakin menyudutkan aku untuk
terjun ke lembah yang paling dasar. Meski kerudung adalah khasku sejak lahir. Seperti
organ tubuh yang tidak akan pernah ku tinggalkan atau berceceran dengan
sengaja. Kerudung selalu menemani perjalananku.
Otomotif adalah pilihanku melanjutkan ke jenjang yang lebih atas.
Sudah bosan aku dengan SMA yang ku anggap tak berbeda dengan SMP. Tapi kedua
orang tuaku tidak setuju dengan pilihanku itu. Karena ketika mereka Tanya “Kenapa
kamu pilih otomotif nak”. Dengan mudah aku menjawab “Mau ikut temen yang mayoritas
pilih masuk STM”. Umi yang tidak pernah suka dengan teman-temanku itu pun
bertindak otoriter saat itu. Dengan memaksakan kehendak ia memasukan aku ke
Sekolah Menegah Kejuruan dengan jurusan akuntasi. Tapi tidak berhasil, sekolah
swasta itu mengantarkan aku kepada jurusan Adm.Perkantoran. Umi dengan senang
hati mendengar kabar itu, dengan harap aku tidak bergaul dengan teman SMPku
yang dulu hobinya tauran dan malakin orang. Tapi harapannya musnah. Sekolah swasta
itu mempunyai gedung yang minimalis dengan menggabungkan 4 Unit sekaligus.
SMEA, STM , SMP, dan Kesehatan. Teman-teman SMPku banyak yang masuk STM. Tidak sulitlah
untuk kami kumpul dan nongkrong lagi. Menguasai sekolah itu dengan jiwa
solideritas kami.
Bernyanyi adalah caraku melepaskan segala gundah kala
mendapat kondisi rumah yang dihiasi dengan pertengkaran. Selain latihan karate
dan mukulin orang, aku pun sering teriak dan bernyanyi gila di kamar mandi dan
tempat aku dan teman-teman SMP nongkrong. Namun di sini aku menemukan aktifitas
baru bersama mereka dan kawan-kawan baru yang lagi-lagi didominasikan oleh kaum
adam. Lapangan yang kecil ditengah gedung yang minimalis itu menjadi tempat
pertemuan kami kala istirahat untuk bermain bola. Dan aku adalah perempuan
berkerudung satu-satunya yang ikut dalam permainan singkat saat istirahat itu.
Satu semester awal aku menjadi murid SMK dengan jurusan Adm.
Perkantoran. Isi kelas yang membosankan karena isinya adalah
perempuan-perempuan rempong yang kerjaanya dandan. Berselingsingan sekali
dengan kepribadianku saat itu. Aku lebih senang waktu istirahat dan pulang
ketimbang waktu belajar mengajar. Doni teman SMPku yang kini bergabung dengan
Band Metal mengajakku untuk bergabung. “Suara lu bagus bang. Apa salahnya nyoba”
katanya dengan pasti. Menjadi vokalis Band Metal dengan kerudung yang tak pernah
ingin ku lepas adalah suatu tantangan yang dahsyat. Aku ingat sekali pertama
kali Doni mengajakku nonton konser Metal. “Buat nyesuaiin kalau sewaktu-waktu
Band kita siap manggung bang” katanya. Malam gelap dengan kerumunan orang
berpakaian gelap. Aku pun sama karena aku suka dengan warna hitam. Di buka
dengan ritual yang sampai saat ini aku tidak tahu apa nama dan maksudnya. Mereka
melingkar dengan memegang benda seperti sumpit merah yang dibakar dan
ditiupkan. Menerbangkan asap-asap kecil dan komat-kamit dari satu komando
ditengahnya. Setelah ritual itu barulah mereka mempersiapkan konsernya. Kebersamaan
sangat melekat, aku terhipnotis hebat.
Minggu-minggu selanjutnya aku dan Bandku yang mengisi konser
demi konser. Meski di awal banyak yang menentang kerudungku tapi mereka
mengalir seiring berjalannya waktu. Aku pun semakin gencar latihan dan semakin
sering pula pulang malam bahkan pagi. Sekolah sudah menjadi nomer sekian,
hidupku merasa tenang saat itu. Setiap pertengkaran di rumah kini aku larikan
dengan latihan dan manggung. Sempat aku coba-coba merokok, namun aku tak suka
asap jadi tidak kulanjutkan lagi. Tak jarang mereka menawarkan aku minum saat
selesai manggung. Tapi aku tidak pernah tertarik akan hal itu. Dan mereka tidak
pernah memaksa aku untuk melakukan yang tidak ku sukai. Aku di jaga dan
dilindungi oleh mereka saat itu. Tidak ada yang berani macam-macam denganku,
padahal banyak sekali perempuan yang diperlakukan semena-mena oleh mereka. Tapi
aku malah di lindungi habis-habisan. Hidup seakan syurga saat pulang sekolah
dan nongkrong lalu latihan dan manggung. Aku merasa hidup ini indah. Dirumah mendapat
pertengkaran, diluar mendapat kenikmatan bersama teman-teman seperjuangan.
Tiba di penghujung SMK. Tujuanku adalah Bandku, aku ingin
Bandku ini menjadi tenar setenar-tenarnya. Tapi waktu memanggilku ketempat yang
lain. Semester pertama kelas 3 aku dipertemukan dengan cahaya yang begitu
menggoda. Super Camp yang berlangsung selama 2 hari satu malam itu menunjukan
aku jalan yang sangat asing bagiku. Meski kedua orang tuaku adalah aktifis di
jalan itu, aku masih buta akan jalan itu. Mereka mengajariku menikmati hidup
degan kata “Nikmatilah” dan memperjuangkan hidup dengan kata “Ekstirime”. Kaka-kaka berkerudung panjang dengan kerudung
paris dua lapis itu menyentuh hatiku dengan lembut dan hati-hati. Aku yang
sangat berani dan penuh ambisi diarahkan dengan benar dan di isi.
Semenjak itu aku memutuskan untuk fakum dari kegiatan Band.
Doni begitu sangat menyesalkan keputusanku. Dia terus merayuku untuk mau
latihan dan manggung, karena saat itu Band kami sedang ramai job. Tapi aku
tetap pada pendirianku untuk fakum. Alasanku sih ingin konsentrasi UN, padahal
aku sedang melangkah kearah cahaya yang sudah menggodaku untuk terus mendekat
itu. Aku aktif dalam halaqah, bahkan saat itu aku langsung menjadi ketua Rohis
yang mati suri akan pergerakan saat itu. Hari demi hari cahaya itu semakin ku
dekati dan semakin mewarnai hari-hari gelapku. Yang terasa adalah damai sekali,
kisruh dalam rumah berubah menjadi ramah. Sudah jarang ku dapati Umi dan Abi
mempermasalahkan hal yang dulu membuatku masuk dalam perangkap dunia kelam. Aku
semakin aktif dalam organisai Osis dan Rohis. Bandku? Sudah menjadi ingatan
terakhirku. Setiap hari handphoneku berkelahi dengan sms-sms masuk yang
berselingsingan. Yang satu mengajak halaqah dan kata-kata pencerahan. Yang satu
mengajak latihan dan manggung. Dunia terasa membingungkan, tapi aku nikmati
dengan ketenangan.
Pergantian tahun 2012-2013 adalah awal aku melangkah untuk
hijrah. Dengan lantang aku mengatakan kepada Doni bahwa aku resmi keluar dari
Band dan mempersilahkan Doni mencari Vokalis pengganti. Hubungan kami masih
sangat baik, aku masih sering main ke tempat tongkrongan dengan sedikit
memberikan nasehat yang mereka anggap ceramah. Bahkan semenjak saat itu
panggilan “Bang” berubah menjadi “Ustadzah”. Mereka mengatakan aku sudah
berubah, dan sejak awal-awal hijrah banyak yang menjauhiku bahkan memusuhiku. Aku
ingat sekali kelakuan Anton yang menusukan paku ke ban motorku dan menyayat
bagian depan motorku dengan silet bertuliskan “MUNAFIK”. Atau teman-teman lain
yang ketika aku berikan senyuman mereka malah meludah dihadapku dan berteriak “PENGHIANAT”.
Dan perlakuan kasar lainnya karena mereka merasa aku sudah tidak solideritas
lagi. Tapi aku tak pernah berhenti menyentuhnya dengan lembut dan hati-hati
seperti kaka-kaka itu yang melakukannya kepadaku. Karena aku tahu mereka semua
sama dengan aku. Kondisi rumah yang membuatnya dipandang seperti sampah dan melakukan
tindakan yang salah. Mereka hanya butuh arahan dan semangat untuk melangkah.
Aku yang dulu apa-apa main tangan kini lebih terkontrol dan sabar. Mereka adalah
semangat perubahan untukku, dengan perlakuan mereka aku semakin terbentuk
menjadi pejuang kebenaran. Terimakasih teman :)
Kini tujuanku adalah kuliah. Pendidikan Agama Islam menjadi
pilihanku saat itu. Umi dan Abi sangatlah setuju dengan tujuan mulia anak
sematawayangya itu. Dengan segala kekurangan yang ada mereka memakasakan aku
masuk kuliah di Universitas Islam Swasta. Dengan kuliah, wawasanku menjadi
luas. Organisasi yang ku ikuti pun membentuk aku menajdi “Muslim Negarawan”
yang tidak hanya memikirkan perubahan sendiri pun perubahan Negara dengan paham
yang berimbang. Semakin kuat pertahananku dalam menegakkan kebenaran dan
menebas kebatilan. Aku menjadi pribadi baru yang tangguh dalam menghadapi
kebatilan. Senyum-senym kedua orang tua menjadi semangat langkah selanjutnya
dan seterusnya. Mereka tersenyum bahagia ketika aku pulang dengan membawa
berita aku melakukan ini dan itu bersama organisasi yang satu jalan dengan
jalan mereka. Bahkan saat pulang larut malam kini disambut dengan senyuman dan
seruan untuk istirahat. Keadaan rumah semakin damai dan ramai dengan
kemakmuran. Kini aku tidak merasa menjadi manusia merugi yang berlari
kebelakang dengan cahaya kegelapan. Kini aku tersenyum riang dengan cahaya yang
terang benderang. Bahkan kabar baiknya adalah Doni kini mulai aktif halaqah,
karena memang orang tuanya pun satu jalan. Aku yakin sejak awal bahwa Doni akan
menjadi gandra terdepan . jalan ini semakin segar sejak dia sadar dan
menjelajar Hamasah Don. :)
“Jadilah aku cinta
dalam keluarga. Mereka tersenyum bahagia dengan cinta yang mereka punya. Kemana
saja aku ini? hanya melihat masalah dengan sebelah mata. Sebelahnya lagi tidur
dan langkah terus mundur. Tapi tersekak dengan dengkur akhirnya bangun dan mengukur
makmur. Jangankan hidup, mati pun kini jadi candu pikirku. Hidup Muliaatau Mati
Syahid bukan hanya slogan…..”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar