Senin, 08 September 2014

seperangkat waktuku


Menjadi anak pertama dan terakhir bukanlah perkara mudah. Sudah sejak lama aku menginginkan hadirnya adik untuk mewarnai hidupku yang rasanya sangat merugi ini. Pun umi. Ketika menantikan kehadiranku dari 2 tahun setengah lama pernikahannya, umi berharap ada lagi yang akan keluar dari rahimnya. Tapi sudah 17 tahun aku hidup, adik itu belum hadir juga untukku dan umiku. Aku kecil adalah aku yang begitu pasrah dengan keadaan. Abi yang berprofesi hanya sebagai cleaing service di masjid besar milik perusahan semen terbesar dan umi yang hanya berjualan di pinggir jalan masjid itu membuat aku merasa akulah orang yang paling merugi. Caci-maki dari teman-teman sudah menjadi makanan sehari-hari. Belum lagi pertengkaran Umi dan Abi yang selalu menghiasi hari demi hari yang berganti. Sekolah dasar adalah masa di mana aku benar-benar lemah. 



Rasa dendam terhadap keadaan kian membentuk aku menjadi seorang preman di sekolah. Sekolah Menengah Pertama menjadi saksi pembalasan dendamku terhadap keadaan. Dengan bergabungnya aku bersama Ekskul Karate Kyokushin Kaikan yang dari tahun ke tahun di dominasi oleh laki-laki. Aku membentuk pribadi yang jauh dari kata “Anggun”. Teman-temanku mayoritas kaum adam yang brandal menurut mata mereka yang hemat pandang. Karate mendidiku menjadi kuat dan itu nyata. karena hampir semua mata yang memandang anak karate adalah anak-anak yang jago berantem dan kuat. Teman SD yang dulu mencaci-makiku. Kini tunduk patuh pada perintahku. Sekolah menengah Pertama adalah masa di mana aku merasa akulah pengusa dunia.


Kehidupan semakin carut dan marut. Jangankan arah, tujuan hidup saja aku tak tau mau kemana. Suasana keluarga yang semakin menyempitkan arah pandangku terhadap hidup. Pergaulan yang semakin menyudutkan aku untuk terjun ke lembah yang paling dasar. Meski kerudung adalah khasku sejak lahir. Seperti organ tubuh yang tidak akan pernah ku tinggalkan atau berceceran dengan sengaja. Kerudung selalu menemani perjalananku.


Otomotif adalah pilihanku melanjutkan ke jenjang yang lebih atas. Sudah bosan aku dengan SMA yang ku anggap tak berbeda dengan SMP. Tapi kedua orang tuaku tidak setuju dengan pilihanku itu. Karena ketika mereka Tanya “Kenapa kamu pilih otomotif nak”. Dengan mudah aku menjawab “Mau ikut temen yang mayoritas pilih masuk STM”. Umi yang tidak pernah suka dengan teman-temanku itu pun bertindak otoriter saat itu. Dengan memaksakan kehendak ia memasukan aku ke Sekolah Menegah Kejuruan dengan jurusan akuntasi. Tapi tidak berhasil, sekolah swasta itu mengantarkan aku kepada jurusan Adm.Perkantoran. Umi dengan senang hati mendengar kabar itu, dengan harap aku tidak bergaul dengan teman SMPku yang dulu hobinya tauran dan malakin orang. Tapi harapannya musnah. Sekolah swasta itu mempunyai gedung yang minimalis dengan menggabungkan 4 Unit sekaligus. SMEA, STM , SMP, dan Kesehatan. Teman-teman SMPku banyak yang masuk STM. Tidak sulitlah untuk kami kumpul dan nongkrong lagi. Menguasai sekolah itu dengan jiwa solideritas kami.
Bernyanyi adalah caraku melepaskan segala gundah kala mendapat kondisi rumah yang dihiasi dengan pertengkaran. Selain latihan karate dan mukulin orang, aku pun sering teriak dan bernyanyi gila di kamar mandi dan tempat aku dan teman-teman SMP nongkrong. Namun di sini aku menemukan aktifitas baru bersama mereka dan kawan-kawan baru yang lagi-lagi didominasikan oleh kaum adam. Lapangan yang kecil ditengah gedung yang minimalis itu menjadi tempat pertemuan kami kala istirahat untuk bermain bola. Dan aku adalah perempuan berkerudung satu-satunya yang ikut dalam permainan singkat saat istirahat itu. 

Satu semester awal aku menjadi murid SMK dengan jurusan Adm. Perkantoran. Isi kelas yang membosankan karena isinya adalah perempuan-perempuan rempong yang kerjaanya dandan. Berselingsingan sekali dengan kepribadianku saat itu. Aku lebih senang waktu istirahat dan pulang ketimbang waktu belajar mengajar. Doni teman SMPku yang kini bergabung dengan Band Metal mengajakku untuk bergabung. “Suara lu bagus bang. Apa salahnya nyoba” katanya dengan pasti. Menjadi vokalis Band Metal dengan kerudung yang tak pernah ingin ku lepas adalah suatu tantangan yang dahsyat. Aku ingat sekali pertama kali Doni mengajakku nonton konser Metal. “Buat nyesuaiin kalau sewaktu-waktu Band kita siap manggung bang” katanya. Malam gelap dengan kerumunan orang berpakaian gelap. Aku pun sama karena aku suka dengan warna hitam. Di buka dengan ritual yang sampai saat ini aku tidak tahu apa nama dan maksudnya. Mereka melingkar dengan memegang benda seperti sumpit merah yang dibakar dan ditiupkan. Menerbangkan asap-asap kecil dan komat-kamit dari satu komando ditengahnya. Setelah ritual itu barulah mereka mempersiapkan konsernya. Kebersamaan sangat melekat, aku terhipnotis hebat. 

Minggu-minggu selanjutnya aku dan Bandku yang mengisi konser demi konser. Meski di awal banyak yang menentang kerudungku tapi mereka mengalir seiring berjalannya waktu. Aku pun semakin gencar latihan dan semakin sering pula pulang malam bahkan pagi. Sekolah sudah menjadi nomer sekian, hidupku merasa tenang saat itu. Setiap pertengkaran di rumah kini aku larikan dengan latihan dan manggung. Sempat aku coba-coba merokok, namun aku tak suka asap jadi tidak kulanjutkan lagi. Tak jarang mereka menawarkan aku minum saat selesai manggung. Tapi aku tidak pernah tertarik akan hal itu. Dan mereka tidak pernah memaksa aku untuk melakukan yang tidak ku sukai. Aku di jaga dan dilindungi oleh mereka saat itu. Tidak ada yang berani macam-macam denganku, padahal banyak sekali perempuan yang diperlakukan semena-mena oleh mereka. Tapi aku malah di lindungi habis-habisan. Hidup seakan syurga saat pulang sekolah dan nongkrong lalu latihan dan manggung. Aku merasa hidup ini indah. Dirumah mendapat pertengkaran, diluar mendapat kenikmatan bersama teman-teman seperjuangan.


Tiba di penghujung SMK. Tujuanku adalah Bandku, aku ingin Bandku ini menjadi tenar setenar-tenarnya. Tapi waktu memanggilku ketempat yang lain. Semester pertama kelas 3 aku dipertemukan dengan cahaya yang begitu menggoda. Super Camp yang berlangsung selama 2 hari satu malam itu menunjukan aku jalan yang sangat asing bagiku. Meski kedua orang tuaku adalah aktifis di jalan itu, aku masih buta akan jalan itu. Mereka mengajariku menikmati hidup degan kata “Nikmatilah” dan memperjuangkan hidup dengan kata “Ekstirime”.  Kaka-kaka berkerudung panjang dengan kerudung paris dua lapis itu menyentuh hatiku dengan lembut dan hati-hati. Aku yang sangat berani dan penuh ambisi diarahkan dengan benar dan di isi.



Semenjak itu aku memutuskan untuk fakum dari kegiatan Band. Doni begitu sangat menyesalkan keputusanku. Dia terus merayuku untuk mau latihan dan manggung, karena saat itu Band kami sedang ramai job. Tapi aku tetap pada pendirianku untuk fakum. Alasanku sih ingin konsentrasi UN, padahal aku sedang melangkah kearah cahaya yang sudah menggodaku untuk terus mendekat itu. Aku aktif dalam halaqah, bahkan saat itu aku langsung menjadi ketua Rohis yang mati suri akan pergerakan saat itu. Hari demi hari cahaya itu semakin ku dekati dan semakin mewarnai hari-hari gelapku. Yang terasa adalah damai sekali, kisruh dalam rumah berubah menjadi ramah. Sudah jarang ku dapati Umi dan Abi mempermasalahkan hal yang dulu membuatku masuk dalam perangkap dunia kelam. Aku semakin aktif dalam organisai Osis dan Rohis. Bandku? Sudah menjadi ingatan terakhirku. Setiap hari handphoneku berkelahi dengan sms-sms masuk yang berselingsingan. Yang satu mengajak halaqah dan kata-kata pencerahan. Yang satu mengajak latihan dan manggung. Dunia terasa membingungkan, tapi aku nikmati dengan ketenangan.

Pergantian tahun 2012-2013 adalah awal aku melangkah untuk hijrah. Dengan lantang aku mengatakan kepada Doni bahwa aku resmi keluar dari Band dan mempersilahkan Doni mencari Vokalis pengganti. Hubungan kami masih sangat baik, aku masih sering main ke tempat tongkrongan dengan sedikit memberikan nasehat yang mereka anggap ceramah. Bahkan semenjak saat itu panggilan “Bang” berubah menjadi “Ustadzah”. Mereka mengatakan aku sudah berubah, dan sejak awal-awal hijrah banyak yang menjauhiku bahkan memusuhiku. Aku ingat sekali kelakuan Anton yang menusukan paku ke ban motorku dan menyayat bagian depan motorku dengan silet bertuliskan “MUNAFIK”. Atau teman-teman lain yang ketika aku berikan senyuman mereka malah meludah dihadapku dan berteriak “PENGHIANAT”. Dan perlakuan kasar lainnya karena mereka merasa aku sudah tidak solideritas lagi. Tapi aku tak pernah berhenti menyentuhnya dengan lembut dan hati-hati seperti kaka-kaka itu yang melakukannya kepadaku. Karena aku tahu mereka semua sama dengan aku. Kondisi rumah yang membuatnya dipandang seperti sampah dan melakukan tindakan yang salah. Mereka hanya butuh arahan dan semangat untuk melangkah. Aku yang dulu apa-apa main tangan kini lebih terkontrol dan sabar. Mereka adalah semangat perubahan untukku, dengan perlakuan mereka aku semakin terbentuk menjadi pejuang kebenaran. Terimakasih teman :)

Kini tujuanku adalah kuliah. Pendidikan Agama Islam menjadi pilihanku saat itu. Umi dan Abi sangatlah setuju dengan tujuan mulia anak sematawayangya itu. Dengan segala kekurangan yang ada mereka memakasakan aku masuk kuliah di Universitas Islam Swasta. Dengan kuliah, wawasanku menjadi luas. Organisasi yang ku ikuti pun membentuk aku menajdi “Muslim Negarawan” yang tidak hanya memikirkan perubahan sendiri pun perubahan Negara dengan paham yang berimbang. Semakin kuat pertahananku dalam menegakkan kebenaran dan menebas kebatilan. Aku menjadi pribadi baru yang tangguh dalam menghadapi kebatilan. Senyum-senym kedua orang tua menjadi semangat langkah selanjutnya dan seterusnya. Mereka tersenyum bahagia ketika aku pulang dengan membawa berita aku melakukan ini dan itu bersama organisasi yang satu jalan dengan jalan mereka. Bahkan saat pulang larut malam kini disambut dengan senyuman dan seruan untuk istirahat. Keadaan rumah semakin damai dan ramai dengan kemakmuran. Kini aku tidak merasa menjadi manusia merugi yang berlari kebelakang dengan cahaya kegelapan. Kini aku tersenyum riang dengan cahaya yang terang benderang. Bahkan kabar baiknya adalah Doni kini mulai aktif halaqah, karena memang orang tuanya pun satu jalan. Aku yakin sejak awal bahwa Doni akan menjadi gandra terdepan . jalan ini semakin segar sejak dia sadar dan menjelajar Hamasah Don. :)


“Jadilah aku cinta dalam keluarga. Mereka tersenyum bahagia dengan cinta yang mereka punya. Kemana saja aku ini? hanya melihat masalah dengan sebelah mata. Sebelahnya lagi tidur dan langkah terus mundur. Tapi tersekak dengan dengkur akhirnya bangun dan mengukur makmur. Jangankan hidup, mati pun kini jadi candu pikirku. Hidup Muliaatau Mati Syahid bukan hanya slogan…..”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar