Senin, 15 September 2014

Saat itu aku sedang menendang-nendang, berdendang dengan ari-ari yang masih melilit-lilit. 17 tahun yang lalu itu aku. Dalam perutnya aku bersahabat dengan ketuban yang mengalir, membawaku keluar dan menangis kegirangan. "Ah bebas." Benakku meghujam suara tangis "Oa-oa."
Saat ini aku sedang menendang-nendang hadirkan dendang, dengan ari-ari yang melilit-lilit dalam satelit. Saat ini, itulah aku. Dalam gersangnya pemikiran dan dahaga kesadaran. kekeringan masa tahu, menghadapkanku pada gang sempit yang menghantam bahu-bahu. "Ah sesal." Benakku menghujam suara bungkam tanpa makna.

Saat itu aku berteriak tanpa sesak. Saat ini aku dalam ketiak yang tersiak.
Tanpa abai dalam pergantian masa, aku berbalik sesekali untuk mengansumsi nutrisi dalam bilik-bilik. Walau kadang tercekik dalam balik, aku berusaha menjadi baik.

Oi mata surya, tunjukan arah yang berkelit dengan asa. satukan mereka dalam satu jasad yang menengadah penuh sarang laba-laba. Sudah bertumbuh ia, berkembang ia, menjadilah ia makna tanpa makna. Masih merana dalam rona.....
Oi pintu dunia, dimanakah gagang pintu yang bersahaja. Beri tahu aku seiring bergaungnya waktu dengan jangkaku. Sudah bertambah ia, berkembang ia, menjadilah ia makna dengan makna tanpa makna. Masih berjaya dalam merana yang rona.

Saat itu aku.....
Saat ini aku?
Inilah masa dimana. Aku? Tidak ada......
By: ~SAZHAH~
15-09-2014 23:30
(Menuju purnama matahari)

Minggu, 14 September 2014

For Pengusaha Kampus Bogor :)

"Menyerumu dalam sepucuk surat"

Assalamualaikum. Apa kabar semangatnya kawan-kawan pengurus PK Bogor? Semoga tetap semangat dan sejahtera ya. Aamiin. Karena bahu kita adalah bahu-bahu pilihan Allah yang tidak mungkin salah dalam memilih. "Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (Qs. Al-Baqoroh-286). Kalau amanah ini kalian anggap sebagai beban, maka ayat tersebut patut kalian renungkan kawan.



Mohon maaf yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada kalian semua. Dengan menghilangnya kabar saya dari WhastApp, karena HandPhone yang sudah hampir satu bulan ini memberikan waktu untuk saya bernafas dari segala aktifitas di dalamnya. Pun jua sesuatu yang ada di dalam diri saya, yang masih saya sembunyikan dari kalian semua, yang membuat saya hilang dari peradaban sesungguhnya. Bukan tidak ingin berbagi, apalagi tidak mempercayai kalian akan bisa menjadi bahu yang pengerti. Tapi kesendirian membuat saya banyak berinteraksi dengan diri saya sendiri, saya banyak berperang dengan diri saya sendiri dalam keadaan hikmat yang sepi saat itu. Namun rasanya tidak layak bagi seseorang yang mempunyai amanah itu menyepi terlalu lama, apalagi amanahnya adalah sebagai "Wakil Ketua" yang seharusnya totalitas dalam membantu "Ketua" dalam mengatur Komunitas awal ini dengan penuh suka cita, agar menjadi komunitas yang bukan hanya nama tapi juga gerak juang yang nyata. Dan hati nuranilah yang mendominasi diri saat ini.

Maka, atas nama kesadaran. Saya sebagai manusia yang penuh dengan ke khilafan ini berikrar : In Sya Allah akan memperkerjakan akal, hati, dan jasmani untuk Komunitas ini dengan semaksimal mungkin. Sampai waktu yang memisahkan saya dengan jabatan itu dan dunia ini.

Maka kawan, mari kita bersama satukan cita dengan mulia. Bersama kita bangun Komunitas ini dengan cinta dan komitmen yang utama. Mulai malam ini, mari kita buka semua panca indera kita untuk menatap hari depan PK Bogor yang merona. SEKARANG ATAU TAK TENANG!!!
By: ~SAZHAH~
14-09-2014 21:30

Senin, 08 September 2014

seperangkat waktuku


Menjadi anak pertama dan terakhir bukanlah perkara mudah. Sudah sejak lama aku menginginkan hadirnya adik untuk mewarnai hidupku yang rasanya sangat merugi ini. Pun umi. Ketika menantikan kehadiranku dari 2 tahun setengah lama pernikahannya, umi berharap ada lagi yang akan keluar dari rahimnya. Tapi sudah 17 tahun aku hidup, adik itu belum hadir juga untukku dan umiku. Aku kecil adalah aku yang begitu pasrah dengan keadaan. Abi yang berprofesi hanya sebagai cleaing service di masjid besar milik perusahan semen terbesar dan umi yang hanya berjualan di pinggir jalan masjid itu membuat aku merasa akulah orang yang paling merugi. Caci-maki dari teman-teman sudah menjadi makanan sehari-hari. Belum lagi pertengkaran Umi dan Abi yang selalu menghiasi hari demi hari yang berganti. Sekolah dasar adalah masa di mana aku benar-benar lemah. 



Rasa dendam terhadap keadaan kian membentuk aku menjadi seorang preman di sekolah. Sekolah Menengah Pertama menjadi saksi pembalasan dendamku terhadap keadaan. Dengan bergabungnya aku bersama Ekskul Karate Kyokushin Kaikan yang dari tahun ke tahun di dominasi oleh laki-laki. Aku membentuk pribadi yang jauh dari kata “Anggun”. Teman-temanku mayoritas kaum adam yang brandal menurut mata mereka yang hemat pandang. Karate mendidiku menjadi kuat dan itu nyata. karena hampir semua mata yang memandang anak karate adalah anak-anak yang jago berantem dan kuat. Teman SD yang dulu mencaci-makiku. Kini tunduk patuh pada perintahku. Sekolah menengah Pertama adalah masa di mana aku merasa akulah pengusa dunia.


Kehidupan semakin carut dan marut. Jangankan arah, tujuan hidup saja aku tak tau mau kemana. Suasana keluarga yang semakin menyempitkan arah pandangku terhadap hidup. Pergaulan yang semakin menyudutkan aku untuk terjun ke lembah yang paling dasar. Meski kerudung adalah khasku sejak lahir. Seperti organ tubuh yang tidak akan pernah ku tinggalkan atau berceceran dengan sengaja. Kerudung selalu menemani perjalananku.


Otomotif adalah pilihanku melanjutkan ke jenjang yang lebih atas. Sudah bosan aku dengan SMA yang ku anggap tak berbeda dengan SMP. Tapi kedua orang tuaku tidak setuju dengan pilihanku itu. Karena ketika mereka Tanya “Kenapa kamu pilih otomotif nak”. Dengan mudah aku menjawab “Mau ikut temen yang mayoritas pilih masuk STM”. Umi yang tidak pernah suka dengan teman-temanku itu pun bertindak otoriter saat itu. Dengan memaksakan kehendak ia memasukan aku ke Sekolah Menegah Kejuruan dengan jurusan akuntasi. Tapi tidak berhasil, sekolah swasta itu mengantarkan aku kepada jurusan Adm.Perkantoran. Umi dengan senang hati mendengar kabar itu, dengan harap aku tidak bergaul dengan teman SMPku yang dulu hobinya tauran dan malakin orang. Tapi harapannya musnah. Sekolah swasta itu mempunyai gedung yang minimalis dengan menggabungkan 4 Unit sekaligus. SMEA, STM , SMP, dan Kesehatan. Teman-teman SMPku banyak yang masuk STM. Tidak sulitlah untuk kami kumpul dan nongkrong lagi. Menguasai sekolah itu dengan jiwa solideritas kami.
Bernyanyi adalah caraku melepaskan segala gundah kala mendapat kondisi rumah yang dihiasi dengan pertengkaran. Selain latihan karate dan mukulin orang, aku pun sering teriak dan bernyanyi gila di kamar mandi dan tempat aku dan teman-teman SMP nongkrong. Namun di sini aku menemukan aktifitas baru bersama mereka dan kawan-kawan baru yang lagi-lagi didominasikan oleh kaum adam. Lapangan yang kecil ditengah gedung yang minimalis itu menjadi tempat pertemuan kami kala istirahat untuk bermain bola. Dan aku adalah perempuan berkerudung satu-satunya yang ikut dalam permainan singkat saat istirahat itu. 

Satu semester awal aku menjadi murid SMK dengan jurusan Adm. Perkantoran. Isi kelas yang membosankan karena isinya adalah perempuan-perempuan rempong yang kerjaanya dandan. Berselingsingan sekali dengan kepribadianku saat itu. Aku lebih senang waktu istirahat dan pulang ketimbang waktu belajar mengajar. Doni teman SMPku yang kini bergabung dengan Band Metal mengajakku untuk bergabung. “Suara lu bagus bang. Apa salahnya nyoba” katanya dengan pasti. Menjadi vokalis Band Metal dengan kerudung yang tak pernah ingin ku lepas adalah suatu tantangan yang dahsyat. Aku ingat sekali pertama kali Doni mengajakku nonton konser Metal. “Buat nyesuaiin kalau sewaktu-waktu Band kita siap manggung bang” katanya. Malam gelap dengan kerumunan orang berpakaian gelap. Aku pun sama karena aku suka dengan warna hitam. Di buka dengan ritual yang sampai saat ini aku tidak tahu apa nama dan maksudnya. Mereka melingkar dengan memegang benda seperti sumpit merah yang dibakar dan ditiupkan. Menerbangkan asap-asap kecil dan komat-kamit dari satu komando ditengahnya. Setelah ritual itu barulah mereka mempersiapkan konsernya. Kebersamaan sangat melekat, aku terhipnotis hebat. 

Minggu-minggu selanjutnya aku dan Bandku yang mengisi konser demi konser. Meski di awal banyak yang menentang kerudungku tapi mereka mengalir seiring berjalannya waktu. Aku pun semakin gencar latihan dan semakin sering pula pulang malam bahkan pagi. Sekolah sudah menjadi nomer sekian, hidupku merasa tenang saat itu. Setiap pertengkaran di rumah kini aku larikan dengan latihan dan manggung. Sempat aku coba-coba merokok, namun aku tak suka asap jadi tidak kulanjutkan lagi. Tak jarang mereka menawarkan aku minum saat selesai manggung. Tapi aku tidak pernah tertarik akan hal itu. Dan mereka tidak pernah memaksa aku untuk melakukan yang tidak ku sukai. Aku di jaga dan dilindungi oleh mereka saat itu. Tidak ada yang berani macam-macam denganku, padahal banyak sekali perempuan yang diperlakukan semena-mena oleh mereka. Tapi aku malah di lindungi habis-habisan. Hidup seakan syurga saat pulang sekolah dan nongkrong lalu latihan dan manggung. Aku merasa hidup ini indah. Dirumah mendapat pertengkaran, diluar mendapat kenikmatan bersama teman-teman seperjuangan.


Tiba di penghujung SMK. Tujuanku adalah Bandku, aku ingin Bandku ini menjadi tenar setenar-tenarnya. Tapi waktu memanggilku ketempat yang lain. Semester pertama kelas 3 aku dipertemukan dengan cahaya yang begitu menggoda. Super Camp yang berlangsung selama 2 hari satu malam itu menunjukan aku jalan yang sangat asing bagiku. Meski kedua orang tuaku adalah aktifis di jalan itu, aku masih buta akan jalan itu. Mereka mengajariku menikmati hidup degan kata “Nikmatilah” dan memperjuangkan hidup dengan kata “Ekstirime”.  Kaka-kaka berkerudung panjang dengan kerudung paris dua lapis itu menyentuh hatiku dengan lembut dan hati-hati. Aku yang sangat berani dan penuh ambisi diarahkan dengan benar dan di isi.



Semenjak itu aku memutuskan untuk fakum dari kegiatan Band. Doni begitu sangat menyesalkan keputusanku. Dia terus merayuku untuk mau latihan dan manggung, karena saat itu Band kami sedang ramai job. Tapi aku tetap pada pendirianku untuk fakum. Alasanku sih ingin konsentrasi UN, padahal aku sedang melangkah kearah cahaya yang sudah menggodaku untuk terus mendekat itu. Aku aktif dalam halaqah, bahkan saat itu aku langsung menjadi ketua Rohis yang mati suri akan pergerakan saat itu. Hari demi hari cahaya itu semakin ku dekati dan semakin mewarnai hari-hari gelapku. Yang terasa adalah damai sekali, kisruh dalam rumah berubah menjadi ramah. Sudah jarang ku dapati Umi dan Abi mempermasalahkan hal yang dulu membuatku masuk dalam perangkap dunia kelam. Aku semakin aktif dalam organisai Osis dan Rohis. Bandku? Sudah menjadi ingatan terakhirku. Setiap hari handphoneku berkelahi dengan sms-sms masuk yang berselingsingan. Yang satu mengajak halaqah dan kata-kata pencerahan. Yang satu mengajak latihan dan manggung. Dunia terasa membingungkan, tapi aku nikmati dengan ketenangan.

Pergantian tahun 2012-2013 adalah awal aku melangkah untuk hijrah. Dengan lantang aku mengatakan kepada Doni bahwa aku resmi keluar dari Band dan mempersilahkan Doni mencari Vokalis pengganti. Hubungan kami masih sangat baik, aku masih sering main ke tempat tongkrongan dengan sedikit memberikan nasehat yang mereka anggap ceramah. Bahkan semenjak saat itu panggilan “Bang” berubah menjadi “Ustadzah”. Mereka mengatakan aku sudah berubah, dan sejak awal-awal hijrah banyak yang menjauhiku bahkan memusuhiku. Aku ingat sekali kelakuan Anton yang menusukan paku ke ban motorku dan menyayat bagian depan motorku dengan silet bertuliskan “MUNAFIK”. Atau teman-teman lain yang ketika aku berikan senyuman mereka malah meludah dihadapku dan berteriak “PENGHIANAT”. Dan perlakuan kasar lainnya karena mereka merasa aku sudah tidak solideritas lagi. Tapi aku tak pernah berhenti menyentuhnya dengan lembut dan hati-hati seperti kaka-kaka itu yang melakukannya kepadaku. Karena aku tahu mereka semua sama dengan aku. Kondisi rumah yang membuatnya dipandang seperti sampah dan melakukan tindakan yang salah. Mereka hanya butuh arahan dan semangat untuk melangkah. Aku yang dulu apa-apa main tangan kini lebih terkontrol dan sabar. Mereka adalah semangat perubahan untukku, dengan perlakuan mereka aku semakin terbentuk menjadi pejuang kebenaran. Terimakasih teman :)

Kini tujuanku adalah kuliah. Pendidikan Agama Islam menjadi pilihanku saat itu. Umi dan Abi sangatlah setuju dengan tujuan mulia anak sematawayangya itu. Dengan segala kekurangan yang ada mereka memakasakan aku masuk kuliah di Universitas Islam Swasta. Dengan kuliah, wawasanku menjadi luas. Organisasi yang ku ikuti pun membentuk aku menajdi “Muslim Negarawan” yang tidak hanya memikirkan perubahan sendiri pun perubahan Negara dengan paham yang berimbang. Semakin kuat pertahananku dalam menegakkan kebenaran dan menebas kebatilan. Aku menjadi pribadi baru yang tangguh dalam menghadapi kebatilan. Senyum-senym kedua orang tua menjadi semangat langkah selanjutnya dan seterusnya. Mereka tersenyum bahagia ketika aku pulang dengan membawa berita aku melakukan ini dan itu bersama organisasi yang satu jalan dengan jalan mereka. Bahkan saat pulang larut malam kini disambut dengan senyuman dan seruan untuk istirahat. Keadaan rumah semakin damai dan ramai dengan kemakmuran. Kini aku tidak merasa menjadi manusia merugi yang berlari kebelakang dengan cahaya kegelapan. Kini aku tersenyum riang dengan cahaya yang terang benderang. Bahkan kabar baiknya adalah Doni kini mulai aktif halaqah, karena memang orang tuanya pun satu jalan. Aku yakin sejak awal bahwa Doni akan menjadi gandra terdepan . jalan ini semakin segar sejak dia sadar dan menjelajar Hamasah Don. :)


“Jadilah aku cinta dalam keluarga. Mereka tersenyum bahagia dengan cinta yang mereka punya. Kemana saja aku ini? hanya melihat masalah dengan sebelah mata. Sebelahnya lagi tidur dan langkah terus mundur. Tapi tersekak dengan dengkur akhirnya bangun dan mengukur makmur. Jangankan hidup, mati pun kini jadi candu pikirku. Hidup Muliaatau Mati Syahid bukan hanya slogan…..”

Selasa, 02 September 2014

Untuk Mas'ul Militan :)

Oh. Aku malu!
By : ~SAZHAH~
15-08-201



Seberapa banyak cacat pendahulu?
Hingga kau tanggung banyak peluru.
Segala juang yang kau gebu,
Kini kian membunuhmu.
Oh... aku malu!

Cita-citamu menjadi bisu!
Urusmu kelu. terfokus pada satu!
Dan aku baru tahu!
Pun mereka baru mau bersatu!
Membalas segala seru dengan syahdu!
Bebanmu? masih mengugu!

Ingin segela menyeretmu masuk dalam batas waktu.
Tapi masih belum ku bertemu dengan ujung semua itu!
Oh... aku malu!

Bisakah tinggu menggunung?
Tanpa memberimu tanggung?
Oh. Ingin ku meraung!
Istirahlah!

Dengan segala batas arah.
Aku sujud dan menengadah....

Rabb... Berikan ia bahagia
Seperti kerelaannya terhadap dunia
Membiarkannya fana tanpa bahagia

Terimakasih telah membuat kami bernafas lega
Dengan nafas sesakmu.
Yang lama.......

cerpen


Arti sebuah nama panggilan



Nama adalah sebuah do’a dari orang tua untuk anaknya. mereka pasti akan membungkus anaknya dengan nama yang indah. Sama halnya dengan aku, aku diberikan nama yang begitu baik artinya. Rufaidah Sayyidah Al-Anshoriyah, nama yang begitu panjang.  Dan dari ketiga nama itu pun tidak ada satu pun yang bersahabat dengan lidah Indonesia. Benar saja, semenjak aku sadar dengan kehidupan dunia. Tepat pada usiaku yang ke 4 tahun. Orang sekitarku kesulitan memanggil namaku. Dari ketiga nama yang disodorkan itu, mereka hanya mengingat nama awal. Itu pun harus butuh waktu yang cukup lama dan pengingatan-pengingatan yang sering dilakukan ummi kepada orang sekitar yang bertanya “Siapa nama anaknya bu”.

Aku pun tumbuh dan semakin mengerti arti kehidupan, semakin hidup bersosial, dan semakin banyak kenalan. Tibalah aku pada masa SD, sebenarnya SDku pindah-pindah. Di mulai dari kelas satu SD di SDN, kemudian pindah ke SDIT, dan hingga lulusnya kembali lagi ke SDN namun beda tempatnya. Alasannya adalah karena aku masuk SD terlalu cepat dan ummi mengiginkan anaknya masuk ke SDIT namun ternyata di SDIT pun aku tidak kuat, karena pelajaran di SDIT sangatlah berat dan tidak sepadan dengan otak anaknya yang berusia lebih muda dari teman-temannya yang masih lebih senang bermain dari pada belajar. Nah di SDN yang terakhir inilah hidup terasa lebih berwarna, karena mereka yang lebih merakyat. Di sinilah bermulanya nama panggilan yang unik untukku. Aku ingat sekali, saat itu sedang ramai-ramainya Smack Down. Tapi saat itu pula ummi dan abi melarang aku untuk megkonsumsi tayangan itu. Tapi yang namanya anak, semakin dilarang semakin penasaran. Aku pun mencuri-curi untuk menontonnya, jadi punya bahasan kalau teman-teman sedang membicarakan tayangan itu. Katakana saja saat itu aku suka sekali dengan Jhon cena, sebenarnya bukan karena apa-apa. Sungguh aku hanya ikut-ikutan belaka, kalau sekarang aku lihat tempelan si Jhon cena itu di lemari belajarku, rasanya tidak menarik sama sekali,  ingin dicopot susah karena lemnya merusak meja belajarku.  Teman-temanku saat itu masih sangatlah rumit untuk memanggil namaku, untuk memanggil Rufaidah saja mereka masih sangat sulit dan suka terbalik-balik. Saat sedang berbincang-bincang mengenai Smack Down di halaman masjid samping rumahku, celetuklah Indra memberikan masukan untuk nama panggilan baruku saat itu.
“Nama lu ribet banget sih perasaan, gue aja ga apal-apal ampe sekarang.” Celetuk Indra yang menoleh kepadaku dan diamini oleh teman-teman lain yang saat itu sedang berkumpul.
“hah, apa iya? Gampang ko, cuma Rufaidah aja. Ribet dari mananya?” jawabku yang juga menoleh kepadanya.   
“Gini aja deh, kan nama lu Rafidah ya.” Tangkas Indra. Tapi belum selesai sudah aku potong karena ia salah menyebutkan namaku.
“Eits!!! Dra, nama gue Rufaidah. Bukan Rafidah!” Sembari memukul bahunya.
“Eh iya maksud gue Rufaidah, tuhkan gue lupa.” Katanya sambil mesem-mesem.
“Gimana kalau gue panggil lu RVD aja?” terusnya sambil menampakan wajah bertanya kepadaku.
“Nah bener tuh Dra, RVD aja. Singkat dan emang lagi fenomenal juga, jadi gampang ingetnya. Ro Ven Dam tuh keren” Sambung cici yang saat itu berada di sampingku sambil melempar senyum kepadaku.
“Hmmmmm. Boleh aja sih, bagus juga.” Kataku menyetujui.
“Bukan gitu sih ci, RVD kita anggep aja singkatan nama Rufaidah. Gue ga ada niat bikin lu keren ya er!” Sambut Indra dengan panggilan barunya itu.
 
Nah dari sanalah aku mendapatkan panggilan baru, nama Rufaidah disingkat menjadi RVD karena katanya untuk mempermudah. Dan benar saja, sejak saat itu semua orang memanggilku dengan sebutan RVD. Baik yang tua mau pun yang muda, hihi. Namun ternyata nama itu menjadi do’a. luluslah sudah aku dari jenjang Sekolah Dasar (SD) dan melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Di sini aku benar-benar menjadi seorang RVD, karena ekskul yang aku ikuti adalah Karate. Dan Karate disekolah berbeda dengan Karate yang ada dikelurahan dekat rumahku. Di sini aku dilatih menjadi kuat fisik dan tahan banting, kalau lagi tanding saja kita tidak diperkenankan memakai alat perlindungan dan Karate di SMPku menganut ajaran Full Body Contac. Dan saat itu aku benar-benar menjadi seorang yang kuat seperti RVD dalam tayangan Smack Down. Bukan hanya itu, aku pun menjadi sangat tomboy. Padahal saat SD aku sangat kalem dan adem ayem. Temanku rata-rata laki-laki (meski lebih tepatnya adik kelas laki-laki), bahkan saat aku sedang akrab dengan perempuan, teman-temanku mengaggap perempuan itu pacarku. Gila memang sungguh gila mereka itu. Tapi ternyata belum cukup sampai situ. Rumah yang tak menentu pun membuat aku harus banyak beradaptasi, tapi nama RVD itu masih berlanjut. Masih kelas tiga SMP, namun mempunyai teman rumah yang berbeda. Saat itu aku sedang menetap di suatu kampung di kelurahan Puspanegara, saat teman-teman baru yang kudapati di sana menanyakan siapa namaku, maka aku jawab dengan “Panggil saja aku RVD” awalnya mereka kebingungan, namun setelah aku jelaskan bahwa RVD itu singkatan dari Rufaidah, maka mereka pun mengerti. Dengan suara yang menggelegar yang khas serupa laki-laki, nama RVD itu pun menjadi sangat mereka yakini. Jadilah aku berciri khas si suara laki-laki saat itu, dengan ditopang gaya tomboyku yang khas pula. Karena menggunakan hijab tapi gelagatnya, ah sudahlah itu kenangan yang sebenarnya membuat sesak di dadaku tiap kali menceritakannya.

Naiklah aku ketingkat jenjang yang lebih tinggi yaitu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Melanjutkan sekolah dari SMP ke SMK bukanlah pilihan yang benar-benar diyakini oleh hati, sebab aku sangatlah bingung memilih SMA atau SMK. Aku sudahlah bosan dengan kurikulum SMA yang sepertinya juga tidak jauh beda dengan SMP, pikirku saat itu. Namun masuk SMK juga terlalu banyak pilihan yang membuat aku malah jadi kelimpungan sendiri. Akutansi adalah jurusan yang aku tuju untuk jenjang SMK ini, menjagokan diri yang padahal sama sekali tidak mengusai ilmu matematika dan pribadi yang malas sekali dalam hal hitung-menghitung ini. Awal tes masuk aku mencoba tes ke SMKN pertama di Kota Bogor, tapi memang tidak direstui aku pun gagal. Daftarlah lagi aku ke SMK swasta yang berjarak dekat dengan jagorawi daerah Citeureup. Saat itu pun aku mencoba dengan tes jurusan Akutansi, masih nekat saja rupanya aku ini hehe. Tapi memang bukan bakatnya di sana, aku pun gagal lagi. Namun karena ini swasta jadi tidak sampai harus terkatung-katung mencari sekolah lagi, aku hanya dialihkan jurusan oleh pihak sekolah. Tapi inilah malapetakanya. Seorang tomboy seperti aku ini dipilih untuk masuk jurusan Adm. Perkantoran. Oh no, rasanya kiamat memang sudah dekat. Dan benar saja, saat awal masuk dan ku tengok kanan kiri yang terlihat hanyalah manusia-manusia cantik. Ya, dari kurang lebih 35 murid semuanya adalah perempuan. “Kelas macam apa ini.” gerutuku saat awal memasuki kelas itu. Saat itu pun aku sekelas dengan teman SMPku yang dulu kita sama sekali tidak dekat, wajar saja karena dia itu perempuan, hihi. Nama RVD masih melekat namun belum booming, karena awal masuk aku belum terlalu tenar, haha. Namun candaan kecil dikelas saat itu mengubah panggilan RVD menjadi, ah malu sebenarnya aku mengatakannya. Ya, jadi saat itu aku sedang bercanda-canda dengan temanku satu kelas yang bernama Sita. Dia memanggilku dengan sebutan Odah. Dan dari situlah nama RVD berganti menjadi Odah. Alasannya adalah karena  aku itu usil. “Nama Odah itu pantes buat elu.” Ujar Sita sambil cengegesan. Awalnya aku tidak mengamini panggilan itu, tapi apa daya. Semua teman kelas sudah mengenalku dengan sebutan Odah, Sita memang pintar mengkelabuhi teman sekelas saat itu. Menjalarlah panggilan ini kepada semua kelas, bahkan kaka kelas pun turut andil memanggilku Odah. Karena saat SMK aku aktif dalam kegiatan apa pun yang diselenggarakan sekolah. Dengan sikap caper dan supel, mudahlah aku dikenal banyak orang, (pdnya hehe).

Sekitar kelas tiga semester dua, tepat dengan agenda pusing ria karena harus berkelumit dengan soal-soal UN dan Ujian Praktek. Aku mendapatkan ilham yang datang secara tak sengaja. Tepat seminggu setelah aku mengikuti audisi X-Factor Indonesia yang tak menghasilkan apa-apa selain capek dan sesal harus membolos satu hari demi audisi, aku mendapati agenda Camp dari ummi. Acara Camp ini yang mengadakan adalah kumpulan anak kader dari salah satu partai politik. Awalnya aku ragu untuk ikut, karena aku tidak pernah simpatik pada kegiatan ummi atau abi pada partainya itu. Namun karena acaranya menarik aku pun mengiyakan tawaran ummi tersebut. Dengan celana gunung, kaos panjang milik abi dan kerudung langsung ukuran M aku melangkahkan kaki dari depan gerbang DPD yang bertempat di PEMDA Kab. Bogor. Betemulah aku dengan banyak kawan perempuan di dalamnya, dan yang membat aku malu adalah, mereka semua menggunakan rok dan kerudung yang panjangnya aduhai bukan main. Aku hanya berharap ada perempuan yang juga menggunakan celana dan bergaya seperti aku dalam acara ini nantinya.  Dan Alhamdulillah Allah mendengar do’aku, beberapa menit setelah aku terpojokan karena merasa salah kostum, datang rombongan dari cilebut dan diantara mereka ada perempuan yang bergaya santai dan mengenakan celana gunung juga. Ah lega rasanya, setidaknya ga cuma gue yang salah kostum. Singkat cerita acara pun berlangsung, dan saat kaka-kaka yang menggunakan jilbab yang panjangnya aduhai itu berkenalan dan mengejakan namaku perkata, mereka langsung menyimpulan namaku dengan sebutan Rufai. Tanpa mengelak aku langsung mengamini panggilan mereka itu. Entah apa artinya, namun sampai sekarang aku merasa lebih hikmat saja dipanggil Rufai. Karena Rufai adalah nama panggilan yang membawa aku menjadi muslimah yang sebenarnya pun membuat aku sampai pada kampus dengan jurusan Pend. Agama Islam ini. Dari Rufai inilah pula seorang Rufaidah Sayyidah Al-Anshoriiyah menjadi manusia yang lebih baik lagi. Rufai adalah nama hijrahku yang kubanggakan sampai detik ini. Meski kadang ada saja yang melestkan nama Rufai menjadi Upey atau lebih kejamnya lagi adalah Upay. Tapi yang jelas, nama ini adalah nama yang dilahirkan oleh kaka-kaka berkerudung panjang yang aduhai itu, mereka yang menjadi peratara Allah dalam menyadarkan aku akan hidup di duniaNya. Dengan panggilan Rufai ini pula aku meninggalkan si RVD yang senangnya berantem dan gaul sama cowok atau Odah yang senengnya ngeband aliran keras . Dan dari panggilan Rufai juga perempuan yang tomboy ini menjadi lebih santun, menjadi lebih mengerti untuk apa hijab yang sedari kecil ia gunakan dan bagaimana hijab yang sebenarnya layak untuk perempuan.

Setelah cerita panjang mengenai nama panggilan dan maknanya, kalian tahu ga apa alasan orang tuaku memberikan nama Rufaidah Sayyidah Al-Anshoriyah kepadaku?. Sedikit cerita, menurut sejarah yang diceritakan ummi kepadaku. Rufaidah adalah seorang perawat pertama di negeri Anshor, entah pada peperangan apa aku lupa, seorang Rufaidah ini adalah perawat yang sangat lembut. Kalau tidak salah di film Omar, Rufaidah ini berperan. Tapi mengobati siapa dan berada di episode berapanya aku pun lupa, hehe. Penambahan kata sayyidah adalah seorang yang syahid. Jadi sebenarnya ummi dan abi menginginkan anaknya seperti sosok Rufaidah Al-Anshoriyah yang mati syahid dijalan Allah. Begitulah kiurang lebihnya keinginan mereka. Dulu aku beranggapan aku harus menjadi perawat untuk menjadikan namaku itu hidup. Tapi ternyata tidak, setelah panggilan RVD dan Odah diubah menjadi Rufai, aku makin yakin untuk menghidupkan namaku itu dalam ranah dakwah yang sedang aku telusuri saat ini. bersama organisasi dakwah dan komunitas dakwah, aku akan menghidupkan nama Rufaidah Sayyidah Al-Anshoriyah ini seperti Rufaidah pada masa dulu. Meski tak sama kerjanya tapi kami sama-sama berjuang dijalan Allah, menegakkan agamaNya, dan rela mati dalam perjuanganNya. Meski dari ketiga nama panggilan itu tak satu pun ummi setuju, setidaknya ada kisah menarik dibalik nama panggilan itu. Tapi tetap saja, sebaik-baiknya nama panggilan. Nama asli adalah nama yang penuh dengan keberkahan, nama tanpa dusta dan cacat dimataku.