SAAT KU TERPURUK DAN
TERJATUH……
Tentang lagngit yang terbentang di atas sana, tentang tanah
yang terhampar di pijakan ini, tentang angin yang berhembus semilir ini, dan tentang alam yang menyelimuti setiap
langkah ini. Akulah seorang gadis yang mulai menapaki tingkatan-tingkatan
kehidupan, menjajaki setiap tangga yang satu anak tangganya membutuhkan banyak
perjuangan untuk mencapainya, untuk meraihnya, dan untuk menginjaknya. Setelah
itu, anak tangga yang lain telah menghalau penuh gigih. Suatu saat aku merasa lelah
dan berhenti pada anak tangga yang tidak terlalu tinggi, tidak pula di tengah,
dan tidak juga di paling lembah. Aku menghentakan kakiku dan merunduk penuh
khusuk tak berkutik. Merenung, merendah, dan mematikan langkah. Hampir-hampir
tersungkur ke lembah. Tangga itu tanpa pegangan, aku melangkah hanya dengan
keseimbangan tubuh yang lemah dan kaki yang rapuh penopangannya. Aku berhenti
dan tertatih mundur kebelakang, aku menahan diriku dari dorongan itu, tapi tak
mampu untuk menarik diriku dari dorongan itu. Keadaan ku masih pada anak tangga
yang tidak jelas tempatnya itu. Dengan prasangka penuh debu, hati yang kelabu,
serta kondisi diri yang tak lagi menggebu-gebu. Aku semakin tersusut dan tanpa
sadar, aku berada di anak tangga ketiga terbawah, semi lembah. Aku benar-benar
sendiri tanpa teman yang mengisi dinding-dinding hati. Mereka yang terdekat
kini tak bisa diandalkan. Abi-Umi yang sudah tidak bisa sadarku memaksanya
mengadu, karena aku malu. Merasa sudah dewasa dan sudah bisa menyelesaikannya
sendiri. Sahabat yang hilir mudik dan tak ada di sisi. Merasa terkucilkan dan
seperti kerdil yang bau bangkai tak terpakai. Kekasih yang sudah tak ingin ku
muliki, karena tekad perubahan yang tinggi di awal tekad menaiki tangga ini.
Semua hanya formalitas dalam hidup yang ku jalani. Mereka ada saat mereka butuh
dan memerlukan aku ada disetiap saat. Semua menjadi kelam dalam pandangan yang
sudah kelam penglihatannya. “Arghhhhh!!!!!! Hidup ini bangsat!” Aku mulai geram
dan emosiku semakin melonjak naik ke tinggkat yang paling tinggi. Rasionalku
tak berfungsi dengan baik, akal dan hatiku tak singkron, berbalik-balik tak
bertemu arah tujunya. Kini aku menari-nari dalam garis merah yang akan
menentukan hidupku. Langkah maju atau mundur masih menjadi keputusan yang abu.
Selangkah saja menentukan kelanjutan hidup yang sudah tak jelas arahnya ini.
jika aku kebelakang, aku jatuh kelembah yang dalamnya sangat dalam. Tak bisa
hanya dengan uluran tangan untuk membangunkannya jikalau sudah ke lembah! Akan
lebih sulit lagi. Kalau pun aku melangkah ke depan, langkah selanjutnya
masihlah sangat jauh. Anak tangga yang tak pernah berhenti tanjakannya dari
penglihatan ini membuat aku jadi pesimis. Aku masih saja asyik menari dalam
garis penentuan ini. Sendiri, ya sendirian!
Di lembah sana banyak yang berteriak “Ayo kembali bersama
kami, kita habiskan hidup kita dengan bahagia. Bebaskan dirimu, redupkan lampu
dan ayunkan hasratmu bersama kami. Berdangsa dan berlenggok penuh asa.” Dan di
depan, tak ada lagi uluran tangan, tak terdengar ucap arahan. “Tak ada
orangkah? Kemana kalian? Tega meniggalkan ku sendiri di garis penentuan ini!”
Aku semakin bergejolak dalam garis penentuan ini. Aku menjadi semakin condong
kepada lembah yang terjam itu dan hanyut melayang-layang di atas lembah. “HAP”.
Sergapan tangan seseorang menggeram tangan kananku. Tak cukup dengan itu, “HAP”
sergapan tangan kedua yang menggenggap tangan kiriku, ia mendirikan ku kembali
tegak di batas garis merah penentuan itu. Aku masih kalap dari keterpurukan
yang melemahkan ragaku hingga ke penghujung lembah yang dalam itu. Mataku masih
samar melihatnya, tak jelas menatap arah. Kemana pun arah penglihatan, semua
samar tak nampak. Dalam keadaan yang lunglai dan mata yang belum berfungsi
sepenuhnya aku mencoba tegap dengan sendiri. Sedikit demi sedikit genggaman itu
melepas genggamannya dari tanganku. Aku masih samar melihatnya. Tidak jelas dan
tidak Nampak apa pun itu. Ku gelengkan kepalaku untuk menyadarkan penglihatan
yang samar itu. Aku pun mulai bisa menerka pandang dengan kedua belah mataku.
Namun, penggenggam tangaku itu sudah melompat jauh ke anak tangga yang ada di
depanku, anak tangga yang tidak berujung bauatku. Ku perjelas penglihatanku
dengan bola pembesar yang ada pada mataku. Ku tatap penuh khusuk dan ku
perhatikan dengan penuh jeli. Dan ternyata penggenggam tanganku tadi itu adalah
sebuah tujuan dan harapan yang masih ku simpan dalam hati pada tekad awal
melangkah maju ke depan. Tujuan dan Harapan yang ku ucapkan kepadaNya ketika
aku sadar dari kejahilan yang lalu. “Aku igin melangkah karena Allah, untuk
mendapat RahmatNya, untuk mengejar KasihNya yang selama ini ku abaikan dengan
keacuhan yang mendalam, untuk meraih jannahNya.” Tujuan dan harapan itu masih ada dalam ragaku
yang lalu, yang hampir akan berlalu itu. Ia ada dalam nurani yang tak pernah
ternodai oleh birahi yang tak memaknai hidup ini. “Alla?, ya Alla!” gumamku
dalam hati. Tuhan yang menjadi tujuan dari langkah majuku, harapan dari setiap
perjuangan tapakan kakiku. Dia yang ku lupakan karena kesibukanku mengatur
kondisi yang ku buat rusuh sendiri. Oh bodohnya diri ini, melupakan sesuatu
yang tak patut dilupakan!
Sholat malam? Sering kali ku lewati dengan mematikan bunyian
syahdu pembagun lelapnya tidur. Sholat Dhuha? Sering kali aku lalui dengan
sibuknya diri mencari ketenaran duniawi. Puasa sunnah? Sudah lama ku lupakan
dalam minggu-minggu yang berlalu. Infak/Shodaqoh? Wah…. Sudah taklagi ku
masukkan dalam jadwal pengeluaran isi kantongku. Oh ternyata aku terlalu jauh
dari tujuan dan harapan yang awal. Allah oh Allah…. Aku terlalu senang
menyendiri dengan gerombolan setan dan iblis yang membisik riang di kanan dan
kiri kuping ini. Mungkin mereka merasuki bisikannya ke dalam hatiku, hingga tak
bisa ku dengar jelas hingar bingar jeritan kajian, pertemuan, dan aksi-aksi
yang sering ku geluti di hari yang lalu. Tertutup pendengaran ini hingga tak ku
dapati ketenangan dalam diri. Tak ku rasakan uluran tangan dan topangan badan
dari rekan-rekan yang sejalan dan selangkah itu. Diri ini oh diri ini! bodoh
sekali diri ini! Aku menangis sejadi-jadinya di batas garis merah penentuan
itu. Jatuh badanku tergulai menghadap ke rentetan anak tangga yang tersenyum
renyah kepadaku. Aku merangkak penuh linangan air mata menuju anak tangga
pertama. Berharap dapat menyusul tujuan dan harapan yang tadi telah menolongku
dari keterpurukan diambang lembah, kini mereka sudah di atas puncak anak tangga
itu. Ternyata mereka sudah menungguku lama sekali, dan ketika aku terpuruk
hingga terjatuh mereka relakan untuk turun dan menopangku. Kini mereka sudah
lari ke atas lagi, sedang aku masih harus menitikkan langkah ke anak tangga
pertama dan selanjutnya, penuh peluh dan perjuangan lagi. Oh lelahnya….. tapi
tujuan dan harapan itu tidak pernah lelah menungguku di atas puncak anak tangga
ini. “SEMANGAT!!!!! Habisi anak tangga ini dengan tujuan dan harapan yang di
bulatkan sejak awal dan ditanamkan dengan tekad dan mendalam ke dasar hati yang
paling nurani.” Seruan nurani menelusuk rangkakan yang melaju penuh kaku haru
biru. “Maafkan aku Allah, karena telah membiarkan diriku terpuruk hingga
terjatuh dengan prasangka keji dan membiarkan makhluk sombongmu itu mendominasi
dalam diriku. Perbaikan akan ku lakukan Allah…. Biarkan terpuruk ini ku jadikan
ajaran untuk langkah selanjutnya agar tak terambang di garis merah penentuan
lagi. Allah Ghoyatunna!!!” Mulai ku kembalikan semangat itu dan ku tumbuhkan
lagi tekad yang boborok karena keteledoran diri memahami hati dan mencerna
kehidupan duniawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar