Selasa, 13 Mei 2014

sebuah kisah ....


SAAT KU TERPURUK DAN TERJATUH……


Tentang lagngit yang terbentang di atas sana, tentang tanah yang terhampar di pijakan ini, tentang angin yang berhembus semilir  ini, dan tentang alam yang menyelimuti setiap langkah ini. Akulah seorang gadis yang mulai menapaki tingkatan-tingkatan kehidupan, menjajaki setiap tangga yang satu anak tangganya membutuhkan banyak perjuangan untuk mencapainya, untuk meraihnya, dan untuk menginjaknya. Setelah itu, anak tangga yang lain telah menghalau penuh gigih. Suatu saat aku merasa lelah dan berhenti pada anak tangga yang tidak terlalu tinggi, tidak pula di tengah, dan tidak juga di paling lembah. Aku menghentakan kakiku dan merunduk penuh khusuk tak berkutik. Merenung, merendah, dan mematikan langkah. Hampir-hampir tersungkur ke lembah. Tangga itu tanpa pegangan, aku melangkah hanya dengan keseimbangan tubuh yang lemah dan kaki yang rapuh penopangannya. Aku berhenti dan tertatih mundur kebelakang, aku menahan diriku dari dorongan itu, tapi tak mampu untuk menarik diriku dari dorongan itu. Keadaan ku masih pada anak tangga yang tidak jelas tempatnya itu. Dengan prasangka penuh debu, hati yang kelabu, serta kondisi diri yang tak lagi menggebu-gebu. Aku semakin tersusut dan tanpa sadar, aku berada di anak tangga ketiga terbawah, semi lembah. Aku benar-benar sendiri tanpa teman yang mengisi dinding-dinding hati. Mereka yang terdekat kini tak bisa diandalkan. Abi-Umi yang sudah tidak bisa sadarku memaksanya mengadu, karena aku malu. Merasa sudah dewasa dan sudah bisa menyelesaikannya sendiri. Sahabat yang hilir mudik dan tak ada di sisi. Merasa terkucilkan dan seperti kerdil yang bau bangkai tak terpakai. Kekasih yang sudah tak ingin ku muliki, karena tekad perubahan yang tinggi di awal tekad menaiki tangga ini. Semua hanya formalitas dalam hidup yang ku jalani. Mereka ada saat mereka butuh dan memerlukan aku ada disetiap saat. Semua menjadi kelam dalam pandangan yang sudah kelam penglihatannya. “Arghhhhh!!!!!! Hidup ini bangsat!” Aku mulai geram dan emosiku semakin melonjak naik ke tinggkat yang paling tinggi. Rasionalku tak berfungsi dengan baik, akal dan hatiku tak singkron, berbalik-balik tak bertemu arah tujunya. Kini aku menari-nari dalam garis merah yang akan menentukan hidupku. Langkah maju atau mundur masih menjadi keputusan yang abu. Selangkah saja menentukan kelanjutan hidup yang sudah tak jelas arahnya ini. jika aku kebelakang, aku jatuh kelembah yang dalamnya sangat dalam. Tak bisa hanya dengan uluran tangan untuk membangunkannya jikalau sudah ke lembah! Akan lebih sulit lagi. Kalau pun aku melangkah ke depan, langkah selanjutnya masihlah sangat jauh. Anak tangga yang tak pernah berhenti tanjakannya dari penglihatan ini membuat aku jadi pesimis. Aku masih saja asyik menari dalam garis penentuan ini. Sendiri, ya sendirian!
Di lembah sana banyak yang berteriak “Ayo kembali bersama kami, kita habiskan hidup kita dengan bahagia. Bebaskan dirimu, redupkan lampu dan ayunkan hasratmu bersama kami. Berdangsa dan berlenggok penuh asa.” Dan di depan, tak ada lagi uluran tangan, tak terdengar ucap arahan. “Tak ada orangkah? Kemana kalian? Tega meniggalkan ku sendiri di garis penentuan ini!” Aku semakin bergejolak dalam garis penentuan ini. Aku menjadi semakin condong kepada lembah yang terjam itu dan hanyut melayang-layang di atas lembah. “HAP”. Sergapan tangan seseorang menggeram tangan kananku. Tak cukup dengan itu, “HAP” sergapan tangan kedua yang menggenggap tangan kiriku, ia mendirikan ku kembali tegak di batas garis merah penentuan itu. Aku masih kalap dari keterpurukan yang melemahkan ragaku hingga ke penghujung lembah yang dalam itu. Mataku masih samar melihatnya, tak jelas menatap arah. Kemana pun arah penglihatan, semua samar tak nampak. Dalam keadaan yang lunglai dan mata yang belum berfungsi sepenuhnya aku mencoba tegap dengan sendiri. Sedikit demi sedikit genggaman itu melepas genggamannya dari tanganku. Aku masih samar melihatnya. Tidak jelas dan tidak Nampak apa pun itu. Ku gelengkan kepalaku untuk menyadarkan penglihatan yang samar itu. Aku pun mulai bisa menerka pandang dengan kedua belah mataku. Namun, penggenggam tangaku itu sudah melompat jauh ke anak tangga yang ada di depanku, anak tangga yang tidak berujung bauatku. Ku perjelas penglihatanku dengan bola pembesar yang ada pada mataku. Ku tatap penuh khusuk dan ku perhatikan dengan penuh jeli. Dan ternyata penggenggam tanganku tadi itu adalah sebuah tujuan dan harapan yang masih ku simpan dalam hati pada tekad awal melangkah maju ke depan. Tujuan dan Harapan yang ku ucapkan kepadaNya ketika aku sadar dari kejahilan yang lalu. “Aku igin melangkah karena Allah, untuk mendapat RahmatNya, untuk mengejar KasihNya yang selama ini ku abaikan dengan keacuhan yang mendalam, untuk meraih jannahNya.”  Tujuan dan harapan itu masih ada dalam ragaku yang lalu, yang hampir akan berlalu itu. Ia ada dalam nurani yang tak pernah ternodai oleh birahi yang tak memaknai hidup ini. “Alla?, ya Alla!” gumamku dalam hati. Tuhan yang menjadi tujuan dari langkah majuku, harapan dari setiap perjuangan tapakan kakiku. Dia yang ku lupakan karena kesibukanku mengatur kondisi yang ku buat rusuh sendiri. Oh bodohnya diri ini, melupakan sesuatu yang tak patut dilupakan!

Sholat malam? Sering kali ku lewati dengan mematikan bunyian syahdu pembagun lelapnya tidur. Sholat Dhuha? Sering kali aku lalui dengan sibuknya diri mencari ketenaran duniawi. Puasa sunnah? Sudah lama ku lupakan dalam minggu-minggu yang berlalu. Infak/Shodaqoh? Wah…. Sudah taklagi ku masukkan dalam jadwal pengeluaran isi kantongku. Oh ternyata aku terlalu jauh dari tujuan dan harapan yang awal. Allah oh Allah…. Aku terlalu senang menyendiri dengan gerombolan setan dan iblis yang membisik riang di kanan dan kiri kuping ini. Mungkin mereka merasuki bisikannya ke dalam hatiku, hingga tak bisa ku dengar jelas hingar bingar jeritan kajian, pertemuan, dan aksi-aksi yang sering ku geluti di hari yang lalu. Tertutup pendengaran ini hingga tak ku dapati ketenangan dalam diri. Tak ku rasakan uluran tangan dan topangan badan dari rekan-rekan yang sejalan dan selangkah itu. Diri ini oh diri ini! bodoh sekali diri ini! Aku menangis sejadi-jadinya di batas garis merah penentuan itu. Jatuh badanku tergulai menghadap ke rentetan anak tangga yang tersenyum renyah kepadaku. Aku merangkak penuh linangan air mata menuju anak tangga pertama. Berharap dapat menyusul tujuan dan harapan yang tadi telah menolongku dari keterpurukan diambang lembah, kini mereka sudah di atas puncak anak tangga itu. Ternyata mereka sudah menungguku lama sekali, dan ketika aku terpuruk hingga terjatuh mereka relakan untuk turun dan menopangku. Kini mereka sudah lari ke atas lagi, sedang aku masih harus menitikkan langkah ke anak tangga pertama dan selanjutnya, penuh peluh dan perjuangan lagi. Oh lelahnya….. tapi tujuan dan harapan itu tidak pernah lelah menungguku di atas puncak anak tangga ini. “SEMANGAT!!!!! Habisi anak tangga ini dengan tujuan dan harapan yang di bulatkan sejak awal dan ditanamkan dengan tekad dan mendalam ke dasar hati yang paling nurani.” Seruan nurani menelusuk rangkakan yang melaju penuh kaku haru biru. “Maafkan aku Allah, karena telah membiarkan diriku terpuruk hingga terjatuh dengan prasangka keji dan membiarkan makhluk sombongmu itu mendominasi dalam diriku. Perbaikan akan ku lakukan Allah…. Biarkan terpuruk ini ku jadikan ajaran untuk langkah selanjutnya agar tak terambang di garis merah penentuan lagi. Allah Ghoyatunna!!!” Mulai ku kembalikan semangat itu dan ku tumbuhkan lagi tekad yang boborok karena keteledoran diri memahami hati dan mencerna kehidupan duniawi.

Minggu, 11 Mei 2014

Selamat pagi tanpa mentari dan Malam yang sudah habis waktunya!


Selamat pagi tanpa mentari, pagi ini aku dihujani air mata penuh sadar dan bersimpuh diri. Bukan! Bukan karena kekhusyuanku dalam melaksanakan Sholat Qiyamul lain. Ini sangat konyol, sungguh sangat konyol!

Seusai kajian fiqih yang diberikan umi kepada kami, santri di RTMPQ (Rumah Tahfiz Pecinta al-Qur'an) aku bergegas memasuki kamarku, kamar khusus santri yang tidak full di ma'had karena aktivitas kuliah. Kampus yang dekat dengan Ma'had menambah kenyamananku berada di sini. Karena selain mendapat ilmu aku pun mudah mengakses segala aktivitasku di kampus. Meski peraturan di sini begitu ketat, aku tidak merasa risih. Bahkan aku merasakan banyak perubahan terhadap diriku. Aku yang biasanya bebas pulang jam berapa saja kini dibatasi harus sampai Ma'had sebelum Magrib. Awal-awal aku merasa terkekang, sungguh sangat tersiksa! Dengan aktivitasku di 14 organisasi serta kuliah yang jadwalnya seperti anak sekolah, masuk jam setengah 09.00 dan selesai jam 12.00 siang. Aku yang berkegiatan menjadi seorang pedangang "Cireng Isi" pun kerap ku jalani tiap hari di kampus swasta yang sudah terkenal keislamannya ini. 

Seperti biasa, waktu malam adalah waktuku bersama layar 12 inci. Netbook kesayangan yang selalu menemaniku dalam hal tulis menulis dan menimbah ilmu di dunia maya. Sebenarnya tidak selalu ilmu! Bahkan aku lebih banyak mengabiskan kuata internet 30rb sebulanku untuk hal yang sia-sia. Kepoin temen di Facebook, Twiteer, dan hal-hal iseng lainnya. Sebenarnya peraturan Ma'had ini ketat sekali. Jam 19.00 sudah tidak ada santri yang menggunakan HandPhone, semua harus sudah ditaruh di tas sajadah yang bergantung di sisi mushola itu. Tapi sejak awal aku masuk Ma'had, aku tidak pernah menuruti peraturan itu. Dengan berbagai macam dalih aku keluarkan untuk mempertahankan HandPhone disisiku. dan Netbook yang panteng dari mulai pulang kuliah hingga berangkat kuliah. Aku memeng santri paling bengal di sini. Sering membuat lawakan-lawakan yang menyebabkan para santri terbahak.Hampir Sebulan aku di sini dan sudah dua kali umi menegur santri untuk tidak terlalu banyak bercanda. Padahal mereka tidak akan seperti itu kalau bukan aku yang memulainya.

Malam pun sudah lelap dengan gelapnya langit di atas sana. Semua santri sudah mulai mempersiapkan peralatan untuk pindah alam, masuk ke dunia mimpi yang banyak fantastik di dalamnya. Heni yang sudah mengeluarkan kasur lipat pemberian asna ke mushola dan merapihkannya tepat paling depan, dekat tembok arah luar, teh ina yang juga menyusul dan meletakkan kasurnya di pinggiran serta muna yang meletakan kasurnya di tengah-tengah. Mushola itu kecil dan terletak di depan kamar yang sedang aku tempati pagi ini. 

Seperti biasa, semua santri sudah berdendang dengan dengkurannya masing-masing. Sedang aku, masih asyik dengan layar 12 inciku. membaca status-status teman sosmed. Hingga tak sadar jam di dinding mushola sudah menunjukan pukul 22.05.Badan ku pun lemas, karena sejak tadi pagi aku disibukan dengan acara Tasmi. Kemarin aku pun lelah sekali, karena habis melakukan daftar ulang lomba baca puisi di PNJ (Politeknik Negeri Jakarta) dan tidak ada bikun hingga akhirnya aku jalan dari st. Pocin sampai PNJ. Kelalahan kemarin dan tadi pagi membuatku ingin merebah. Padahal tadi siang aku tidur full dari jam 13.00 sampai jam 16.00. Aku pun merebah dan iseng membuka HandPhone ku, ku buka opera mini di HandPhone Xperia mini pemberian Fatiyah sahabatku. Aku sedang ingin membaca cerpen tentang muslimah.Ku search lah di google dan aku dipertemukan dengan Website www.akhwatmuslimah.com. Awalnya biasa saja, aku hanya berharap aku terlelap dengan membaca cerita-cerita yang ada di dalamnya.

Diawali dengan membaca cerita berjudul "Kisah Cinta dari Masjid Kampus". Cerita pembuka yang berhasil membuat aku tak tertarik memejamkan mata. Aku pikir ini hanya cerita seorang Akhwat yang menceritakan kisah Ta'arufnya dengan ikhwan yang sudah bosan aku baca. Tapi ternyata tidak! Jauh dari apa yang aku bayangkan! Kisah ini bercerita tentang seorang Ikhwan yang mengatur Rohis Kampusnya dengan benar dan perjuangan yang menamparku secara halus. Dengan Ending yang membuatku terkikis semakin membuatku penasaran dengan cerita-cerita lainnya. Ku baca lagi cerita yang berjudul "Dari Mata Turun Ke Hati". Cerita yang satu ini memang pasaran, tapi juga lumayan menggugah aku membuka cerita yang selanjutanya. Ada certita "Ketika Mas Gagah Pergi". Entah ini memang asli satu buku asli atau banyak pemotongan di dalamnya. Karena untuk membaca yang aslinya aku masih belum kesampaian. aku menikmati jalan ceritanya. Lagi-lagi ending membuat aku sedikit terisak. Dan inilah kisah terakhir yang benar-benar membanjiri pipiku dengan air yang berasal dari kedua mataku. cerita ini berjudul "Aku terpaksa Menukahinya (Kisah Inspirasi Para Istri dan Suami)". Bodohnya adalah aku tidak memperdulikan judul yang diberikan tanda tutup-buka dalam kurung itu. kisahnya mebuat aku terisak liar. Sungguh mengharukan. Kisah ini membuat aku sadar bahwa sesuatu yang terpaksa tidaklah bisa sebegitunya sadar dan menjadi biasa. Dalam cerita ini saja si Istri harus kehilangan Suaminya baru ia sadar bahwa selama ini dia bukan apa-apa tanpa suaminya. Dia baru bisa merasakan jatuh cinta ketika suaminya meninggal dunia. Begitu pun dengan aku! Aku tak bisa melakukan hal dengan terpaksa dengan keadaan hati yang tak bisa menerima serta jiwa yang enggan menerimanya pula. Aku terisak dengan penuh gelimangan air mata serta sesak di dada bukan karena kisah yang so sweet. Tapi karena kesadaran ku bahwa Dakwah yang aku lakukan belumlah cukup. Aku masih lemah karena terus disuapi oleh organisasi yang ku jajaki. Beda halnya dengan Bram dalam cerita "Kisah Cinta dari Mesjid Kampus" yang benar-benar harus memutar otak dan menguras keringat dalam memperjuangkan islam. Aku masih ecek-ecek tapi komentarku terhadap kesalahan begitu banyak serta kerja yang masih saja ingin disuapi! "Payah aku ini!". Di tambah lagi penyedaranku dari cerita yang akhir tadi, kisah tentang suami istri. Yang menyadarkan kekhilafanku dalam melangkah. Karena sering kali aku melakukan semua hal dengan terpaksa dan membiarkannya baik dengan sendirinya. Dengan kisah ini aku berkaca dan tidak ingin Ending yang sama terjadi. Aku tidak ingin melukai seseorang atau aku sendiri dalam keputusan yang aku buat. Aku akan belajar untuk mengambil keputusan dengan keikhlasan seluruh raga, bukan terpaksa. 

Huahhhhhh.... Malam ini aku benar-benar tidak bisa memejamkan mata. Sayang sekali rasanya kalau sudah di sadarkan sesuatu aku tidak melaksanakan Sholat dan bersimpuh dihadapnya. 
Selamat pagi tanpa mentari dan Selamat Malam yang sudah habis waktunya. Terimakasih sudah mau membaca kisahku yang entah jelas atau tidaknya.

Senin, 05 Mei 2014

Puisi untuk Shabrina...

Cantik...

Cantik, bola matamu sangat cantik...
Karena tatapmu sudah mampu, menembus lensa harapan....
Sesekali kau toleh arah belakang,
Namun, liar matakmu cepat kembalikan tatap itu....

Cantik, parasmu begitu cantik...
Karena rautnya sudah mengukir jejak tatap harap....
Merauk hasil yang hikmat,
Rautmu semakin ganas memikat lensa berjalan kilat...

Cantik, dirimu teramat cantik....
Lihat saja ke arah cermin, cermin harapan....
1 tangga sudah habis kau cicipi bukan?
Dengan cantik kau lahap habis.
29 tangga lagi, akan kau arungi sendiri!
Tak bersamaku disini.....
Di rumah yang membantukmu melahap 1 tangga penunjang harap.
Dengan cantiknya dirimu, taklukan bisu harap yang bergeming samar itu!
Secapatnya, kabarkan padaku!
Cantikmu mampu merauk lensa harap itu dengan sempurna!

Untuk Shabrina Umami yang sebentar lagi akan ke subang. Beradu kisah menjadi HAFIZHAH. HAMASAH kawan! kami di sini, di RTMPQ (Rumah Tahfidz Muslimah Pecinta Al-Qur'an) akan mengalirkan do'a untukmu di sana....

Minggu, 04 Mei 2014

Untaian girroh untuk KAMMI


KAMMI, satu kesatuan yang bersatu!
Beraksi dalam aksi yang mengisi!
Mahasiswa yang bergelar mahasiswa!
Muslim yang sejatinya muslim!
Indonesia dengan sesungguhnya Indonesia!
~Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia~

Beruntai kata tentang imam...



Imam....
gelar untuk pemimpin...
pemimpin kehidupan segala arah dan tujuan...

Imam....
pengatur gerak-gerik kelakuan...
satu komando satu perjuangan...

Imam....
di temukan di tempat sholat sebagai pemimpin
di pergerakan sebagai pemimpin
di hatiku sebagai pelengkap kehidupan
penyempurna agama artian sama dari pemimpin...
tapi ia belum ada, aku masih menjadi makmum yang baik..
setia menunggu imam yang tepat disini...

Jumat, 02 Mei 2014

Futur....

Futur…..
by: ~Sazhah~

Hariku, gelap tanpa binar.
Setitik pun tak ku dapatkan.
Tak terlihat oleh sudut pandang yang buta,
Buta makna, buta arti, buta kata…

Hariku, hampa tanpa angin.
Sedikit pun tak ku rasakan.
Tak damai oleh hujatan hina diri sendiri,
Mati makna, mati arti, mati kata….

Malamkku, tak berarti
Hanya lelap, suara dengkur…
Mana do’a, mana sujud, mana sholat?
Kubur makna, kubur arti, kubur kata….

Akankah bangkit?
Menjadi suri dan kembali?
Tak diam, tak gerak, tak bisu, tak bicara….
Terapung dalam keadaan makna tak berarti dalam kata!
03-05-2014 00:46