Rabu, 18 Juni 2014

semilir kisah tentang ukhuwah


HUKUM SAKRAL!
by: ~SAZHAH~

Tak banyak sahabat dalam hidupku. “Sahabat adalah sekian banyak teman yang ku pilah, dan ku jadikan seseorang yang berharga. Maka harus lebih ku perhatikan dari pada teman biasa.” Perkataan itu sudah ku jadikan tekanan dalam hidupku sejak SMP. Aku adalah orang yang supel, dimana pun aku berada selalu saja ada orang baru yang ku kenal. Banyak orang yang mengenalku, sedang aku mudah lupa. Karena kelemahanku adalah tak mampu mengigat satu demi satu nama orang yang pernah berkenalan denganku. Semua berjalan baik-baik saja, persahabatanku dengan genk-genk kecil dari SMP sampai dengan SMK berjalan dengan baik, meski tak sama rupa dan sikapnya. Di SMP, sekian banyak teman yang ku punya yang ku pilah menjadi sahabat hanyalah 2, yaitu Lina adik kelas yang duduk di kelas 7.3 dan Feby adik kelas di kelas 8.2, ketika itu aku sedang duduk dikelas 9.4. SMP adalah masa aku menutup dir teman-teman seangkatan, karena menurutku adik kelas lebih asyik diajak bersahabat. Terbukti dari sahabat yang ku pilah saat itu.

Waktu bergulir membawaku hinggap ke jenjang yang lebih atas. SMK, ya SMK adalah pilihan ku selepas lulus dari SMP. Aku tak punya tujuan pasti selepas perpisahan SMP. Tak ada bayangan dalam akalku untuk meneruskan ke jenjang jurusan atau jenjang patokan. Masuklah aku kepada jenjang jurusan, yaitu SMK. Masuk SMK dengan mengambil jurusan Akuntasi saja, hanya berdasarkan cerita Umi ketika ia SMEA. Aku pun mencoba tes Akuntasi disebuah SMKN besar di bogor. Alih-alih lolos, aku malah tidak mendapatkan apa-apa. Karena sistemnya yang ketika gagal, yasudah. Tak pantang aku dalam mencoba, rasa penasaranku pada Akuntasi masih memanas, daftarlah aku pada SMK swasta yang cukup terkenal kenakalan muridnya itu. Tawuran, pergaulan bebas, dan segala hal buruk melekat pada sekolah swasta pilihan Abi saat itu. Namun itu tak berefek apa pun, karena Abi sudah memilih yang terbaik. Sebenarnya bukan terbaik, hanya saja ada teman sepergerakanya, makanya Abi ngebet menyekolahkan aku disana, sama seperti saat aku masuk SMP swasta pilihannya, alasannya pun sama. Karena beliau percaya, kalau ada teman sepergerakan, anaknya akan terjaga. Padahal itu tidak menjamin. Apalagi di SMK, peran teman sepergerakan yang Abi percayakan untuk menjagaku itu pun malah menelantarkan aku dalam keterpurukan. Mencoba dengan jurusan yang sama, Akuntasi. Alhasil pun tidak meloloskan aku kedalamnya. Dan aku baru sadar kalau ilmu hitungku jauh dari kata baik. Untuk hitungan membagi manual saja aku tak mampu, masih harus instan melulu menggunakan kalkulator. Meski saat Les Sempoa dulu nilaiku terbaik, itu tak mampu memperbaiki ilmu hitung dalam bentuk sebenarnya. Sungguh, aku pun bingung dengan retorika ilmu hitung dalam diriku itu, mungkin memang bukan itu ranah terbaik untukku. Diarahkanlah aku pada jurusan Administrasi Perkantoran oleh pihak sekolah. Sikap tomboy bawaan SMP, karena keahlianku dalam Ekskul Karate membuat kesan enggan sekali menerima putusan itu. Namun apa daya, penerimaan siswa baru diseluruh sekolah sudah dipenghujung penutupan. Dengan biaya pas-pasan yang dimiliki kedua orang tua, Aku hanya bisa pasrah menerima semua yang sudah ditakdirkan-Nya. Masa SMKku pun sama, dalih bersahabat yang melekat dalam diriku masih menjadi suatu hukum sakral yang harus dilakukan. Tak pernah aku sangka, orang yang tidak sama sekali dekat denganku kala SMP, kini ialah yang menjadi pilahan sahabat dimasa SMKku. Leli namanya, cantik, pintar, baik, dan pengertian adalah kelebihan yang dimilikinya. Manja adalah sikap yang aku sukai. Karena baru ku sadari, sahabat dalam dalih hidupku itu adalah berpatokan pada sikap yang manja. Orang yang mau menggantungkan seluruh  hidupnya kepadaku. Karena untuk sahabat aku berani mati-matian memperhatikannya. Meski pada SMK aku ber-genk bersama 7 orang lainnya, yaitu. Tanti, Vera, Milda, Disa, Yuli, Tika, dan Fani. Dengan nama ‘Ceri Belek’ kita bergaung. Aku masih menganggap mereka hanya sebatas teman, namun tentunya berbeda perlakuanku  Kepada 7 orang temanku itu, mereka termasuk kedalam semi sahabat. Dimana perlakuanku sama dengan perlakuanku kepada sahabat, namun berbeda lumayan jauh derajatnya dengan sahabat yang ada pada hukum sakral buatanku itu. Itulah kisah persahabatan dimasa-masa yang masih labil. Dengan lingkungan orang sekitar  yang sama-sama mengerti kelabilan itu. Hingga tak pernah ada permasalahan yang larut dan membuat semangat hidup runtuh seruntuh-runtuhnya. Karena pada dua masa itu pun sahabat hanya sebatas masa. Sahabat ku pada masa SMP berakhir ketika aku SMK, begitupun seterusnya. Belum ada tujuan khusus dalam persahabatanku dimasa itu. Masih suka sama suka dan asyik sama asyik.

Aku tak pernah menyangka bisa sampai pada pendidikan tertinggi. Aku sudah masuk dunia perkuliahan saat ini. tepat diulang tahunku yang ke 17th aku perdana masuk kuliah. Kecakapan dalam berkomunikasi mampu menimbun banyak kenalan dikampus yang tidak besar juga tidak kecil ini. sebelum masuk dunia perkuliahan, aku memiliki seseorang yang sudah kujadikan daftar sahabat pada masa nganggur seusai perpisahan SMK. Namanya adalah Fatimah, aku bertemu dengannya ketika ada acara camp yang diadakan oleh salah satu organisasi, yang dibawahi oleh salah satu partai islam. Awal pertemuan yang tak pernah ku pikirkan bisa menjadi ujung persahabatan. Karena dia bukanlah orang yang berwatak manja seperi Lindi, Festi, atau Leli. Dia adalah orang yang hampir sewatak denganku. Bahkan dia lebih supel, dia tidak punya hukum sakral persahabatan seperti aku. Kami bersahabat dengan indahnya, dia yang pertama kali mengajak aku karaoke disalah satu mall besar di bogor usai pengumuman kelulusan SMK saat itu. Dan begitu banyak pengalaman yang indah yang bisa ku ambil saat jalan-jalan bersamanya. Kami masih bersahabat baik sampai sekarang, bahkan dia yang lumayan banyak menyadarkanku bahwa sahabat itu luas, tidak sempit seperti apa yang aku jadikan hukum sakral selama ini.

Pendidikan agama islam adalah jurusan yang aku fokuskan dalam dunia perkuliahan ini. kerudung panjang dan double serta baju longgar dan rok sudah menjadi ciri khasku saat ini, berbeda dengan dulu ketika ada pada dua masa itu, anti sekali aku mengenakan rok. Celana jeans dan kerudung paris tipis adalah pakaian khasku dulu. Meski kedua orang tuaku sudah sejak lama menyadarkan aku, hidayah itu baru muncul ketika acara  camp yang diadakan oleh organisasi berunderbrow partai islam itu. Partai islam yang juga menjadi salah satu aktivitas kedua orang tuaku ketika mereka masih remaja hingga kini mempunyai anak yang sudah mau dewasa. Kampus yang menjajaki banyak unit kegiatan pun ku abaikan begitu saja. Aku sudah fokus pada latar belakang oraganisasi itu. Satu fikroh atau tidak. Itu adalah tujuan ku memasuki UKM kini. Berbeda halnya dengan dua masa itu, tak pernah sama sekali terpikir olehku fikroh dan arah tujuan Ekskul yang ku geluti. Semua ku ikuti asal aku bahagia. Begitu pun dengan sahabat yang kumiliki, kini bukan lagi orang manja yang menjadi tolak ukur lebih untuk bersahabat denganku, tapi fikroh. Dalam kelas, ku dapati 3 orang sahabat yang satu fikroh denganku, namanya adalah Mba Ananda, dia adalah Akhwat inpirator buatku. Dengan usia yang juga sudah jauh diatasku pun jua gelar Hafizhah yang sudah dimilikinya serta sikap yang mencerminkan jati diri Akhwat secara kaffah, yang membuat aku terkesima dan selalu menggantungkan masalah keAkhwatanku kepadanya. Akhwat adalah gelar baru dalam hidupku, gelar yang akan ku kejar dengan perubahan sikap yang sedikit demi sedikit namun pasti. Kemudian ada Meta, dia adalah kawan yang cerdas sekali. Hadist adalah kelebihannya, karena lingkungan pesantrenyalah yang banyak memback up kemampuannya dalam Ilmu Hadist. Dan yang terakhir adalah Sharin, dia adalah kawan yang kujadikan sahabat dengan dalih sakralku itu. Meski telah sadar, masih saja ku jadikan hukum dalam hidup. Ternyata, sadarku belum mampu mengubah apapun dalam kesadaranku. Dia adalah orang yang begitu menarik, cara berpakaian serta gaya hidup yang serba wah namun tetap satu fikroh itulah yang menggiringku begitu erat dengannya. Hampir satu semester pertama itu aku selalu berdua dengannya. Hingga semua orang yang mengenalku pun mengenalnya sudah biasa dengan kedekatan kami. Bukan tanpa masalah bersahabat dengan orang yang satu fikroh, apalagi setelah kita tinggal bersama dirumah wajib mahasiswa yang diwajibkan oleh Rektor untuk mahasiswa baru pada semester awal. Aku tau sikapnya, namun sikap cuekku tetap mengalir. Aku menerima apapun kekurangan dan kelebihannya tanpa berubah sikap sedikit pun. Dengan harap, mendapatkan perlakuan yang sama. Namun ternyata Sharin  bukanlah orang seperti apa yang kubayangkan. Meski sedikit manja namun tak bisa aku gunakan dalih sakral untuk memperlakukannya dalam bersahabat. Kita begitu sering cekcok dan ‘diem-dieman’ adalah sesuatu yang biasa untuk kami. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk keluar dari Rumah Wajib itu. Sempat kita tak tegur sapa, karena dia mempunyai watak yang keras. Jika sudah tidak suka, mudah saja untuknya melupakan begitu saja. Sedang aku tak bisa seperti itu, mempunyai jiwa yang sedikit perasa membuat aku banyak berinteropeksi dan terus mendekatinya. Hinga kamipun baik kembali. Hanya saja satu yang memang tak bisa dipaksa. Aku yang begitu giat dalam organisasi, tak sama dengannya yang hanya ingin ilmu dan pencerdasan. Aku sering memaksanya untuk ikut ini-itu, sedang dia tak suka dipaksa. Itu pun salah satu sebab kenapa kami bersiteru. Namun itu tidaklah seberat kasus persahabatanku dengan salah seorang temanku yang juga satu kelas, namanya Reni. Aku tak pernah menyangka akan menjadi sahabatnya, karena fikroh yang beda sejak awal. Dia sudah 3 tahun lebih tua dari aku, selama itu pun dia bergelut dalam sekolah yang didirikan oleh organisasi yang bertentangan denganku. Organisasi anti politik dan anti parpol. Dan aku sedikit menjauhi orang-orang yang ada didalamnya. Begitu pun dengan Reni, sejak awal aku tak begitu banyak ingin tahu tentangnya. Namun, semenjak aku tahu bahwa ia pun turut serta dalam organisasi intra yang ber-underbrow partai islam yang kini ku anuti. Berbagai diskusi telah kami lewati dan kami bincangkan dengan tuntas. Nah, sebab itulah kami menjadi dekat dan menjadi bersahabat. Rambu kuning masih menjadi penjagaanku selama bersahabat denganya, namun lambat laun rambu itu menjadi bebas. Melintas bebas karena berubah menjadi hijau. Kebersamaan kami tak bisa terbendung lagi. Keakraban kami sudahlah sangat dekat. Dan sahabatku kini adalah 2 orang. Sama seperti masa SMP. Namun bedanya, saat ini aku memilih berdasarkan fikroh dan kesesuaian dalam berpikir. Sharlin dan Reni adalah sahabat yang begitu dekat denganku. Segala tawa, canda, curhat sepenunya, pun jua tangis kami jalani bertiga. Meski masih banyak kejanggalan dihati Sharlin sampai detik ini. Pun mereka tak sesakral aku dalam memaknai persahabatan ini. Akulah yang terlalu mendalami hingga larut samapai kelembah, sedang mereka biasa saja. Semester 2 adalah semester dimana kedekatan kami semakin menjadi. Rumah Qur’an adalah tempat kami tinggal, satu kamar, satu kelas, dan satu organisasi. Sudahlah kumplit untuk semakin akrab bukan? Namun lagi-lagi satu atap adalah tempat dimana keakraban harus menjadi renggang. Sharlin yang sudah pernah tinggal satu atap denganku, menghadapiku begitu santai dengan mencoba biasa saja. Namun Reni yang baru tinggal satu atap denganku, agaknya risih dengan segala perlakuanku didalam ruang yang satu itu. Semangat yang sering ku gemborkan kepada halayak diluar sangatlah berbeda dengan perlakuanku didalam yang kadang malas-malasan. Tak nampak jiwa muslim negarawanku.  Itu mungkin salah satu yang membuat segores luka dalam hatinya, hingga kekecewaan menumpuk dalam dirinya. Pada pertengahan semester Sharlin memutuskan untuk fokus pada tujuannya dalam menghafal Al-Qur’an. Salah satu pesantren Tahfidz pencetak Hafidzhah dengan biaya yang free serta gelar S1 yang sudah tidak diragukan lagi kemampuannya di daerah Subang. Dia pun keluar dari RQ tempat kami berteduh peluh bersama-sama ini. Sisalah Aku dengan Reni. Reni yang begitu rajin shaum sunnah daud, sholat Dhua, dan amalan-amalan baik lainnya mencerminkan kesabaran dalam dirinya. Terbukti selama ini aku merasa nyaman kala bersamanya. Termotivasi sekali hidupku. Namun ternyata, semua itu sirna. 3 minggu setelah Sharlin keluar dari RQ, ribuan masalah menghantam kami. Diem-dieman adalah sikap biasa kami kala bercekcok sikap. Hingga berujung kepada diam yang sebenarnya diam. Selama ini memang akulah awal mula pertegkaran. Dan Reni adalah orang yang berlapang dada untuk memulai percakapan dan membuka kembali canda tawa diantara kami. Namun memang akhir-akhir ini dia sangatlah banyak perubahannya. Entahlah karena apa, perkiraanku adalah pada organisasi yang berbeda fikroh itu. Ternyata samapai detik ini pun dia masih menggelutinya, bahkan semakin kuat. Sedang dari organisasi yang aku geluti ini begitu kurang pem-backupannya. Belum lagi masalah internal yang membuat kita sulit untuk bergerak. Masalahnya sangatlah simple. Hari itu adalah hari dimana aku pergi kebandung, dan besoknya adalah hari pernikahan kaka alumni aktivis satu organisasi. Sebagai kader terbaik tak lupa aku ajak Reni untuk turut andil dalam acara tersebeut.
“Ren, sore ini gue balik. Ke nikahannya Teh Rini yu.” Ajakku lewat sms
“Engga ah Fes, guemah ga diundang.” Balasan yang begitu cepat ku dapatkan.
“HAH? Eh gue Tanya elu ikut organisasi apa? Ya kali Teh Rini mau ngundang Aktivis yang bejibun satu-satu. Ayolah Ren kita bangkit dari kebosanan yang bertumbuh semkain lebat itu.” Jawabku penuh semangat.
“udahlah Fes, gue ga mau memperpanjang.” Jawabnya singakat.
Namun, karena aku adalah orang yang terlalu bersemangat dan sistem pengajakan yang terkesan paksa, maka ku perpanjanglah percakapan itu, hingga kepada pembahasan beda fikroh dan lain-lain. Namun aku mengakhirkannya dengan kata maaf. Entah sampai atau tidak kata maaf itu. Karena sesampainya dirumah, raut wajahnya berbeda dengan biasanya. Tertekuk murka kepadaku. Aku hanya menghadapinya dengan biasa. Mencoba untuk dewasa dengan bersikap biasa. Namun sayangnya, permasalahan itu tercium jelas oleh Umi (Pembina kami di Rumah Qur’an ini) setelah 3 hari rumah sunyi tanpa cada tawa kami. Setelah diselesaikan aku pikir dia akan bersikap seperti biasa. Namun nyatanya sama saja tanpa ada perubhana sama sekali, bahkan makin memperburuk suasana. Aku yang baru saja pulang pengajian kelas, masih belum mendapatkan raut bisanya di sore itu. Bingung sekali menghadapi semua ini, tak biasa aku menerima perlakuan hambar serta acuh tak acuh dari seorang Reni yang riang, candawan, serta penyabar itu. Mulut yang selalu cemberut serta mata yang tak pernah mau menatapku itu sudah ku dapati hampir satu bulan belakang ini. Meski kini, kadang ia tersenyum dan bersikap ramah. Namun hanya sesaat dan kembali hambar lagi. Aku baru saja selesai UAS. Sebelum UAS aku sempat bertindak konyol. Aku kabur dari Ma’had dengan tujuan mendapatkan kesadaran dari Reni dan dia kembali seperti semula. Alih-alih mendapatkan perlakukan yang kembali seperti semula, aku malah dapat hukum dari Umi, karena melanggar peraturan pergi tanpa izin. Bayar denda 50.000 atau piket Ma’had selama 2 hari full. Puas sudah aku membersikan semua ruangan serta mencuci piring dan memasak nasi selama 2 hari full seusai UAS. Namun perlakuannya masih saja begitu. Aku pun mulai mengerti dan mencoba untuk menjauh. April, teman satu atapku dulu saat di Rumah Wajib Mahasiswa pun memberi saran supaya aku tidak mengharapkan apa-apa lagi kepada Reni. Sharlin sepenuhnya memihak kepada Heni, karena saat awal kejadian ini, Reni segera melaporkan semuanya kepada Sharlin. Sedang Sharlin yang juga tidak terlalu suka dengan aku, kini mungkin meninggalkan kesan buruk diakhir masanya disini. Karena esok lusa Sharlin sudah berangkat ke pesantren Tahfdiz yang bertempat disubang itu.

Kini tersisa Fatimah serta teman-teman yang ku abaikan karena hukum sakral yang kubuat sejak awal menikmati hidup bersahabat itu. Kasus akhir yang cukup membuatku jera. Hukum sakral itu mungkin akan ku buang jauh-jauh dari hidupku. Dan hatiku akan terbuka dengan lebar, mengaga untuk memperlakukan semua  dengan sama. Sayang sekali, teman yang berserakan, ku dapatkan secara sengaja itu ku abaikan begitu saja. Selamat tinggal Hukum sakral dan selamat datang kebebasan. Teman adalah Sahabat yang berbaris menantimu menatapnya dengan mata yang sama dan perlaku yang serupa.

Sekian….. Semoga kisah ini bisa menjadi cerminan untuk kalian yang serupa. Semoga menjadi Inspirasi dalam langkah kehidupan selanjutnya. Kritik dan saran sangatlah dibutuhkan untuk bertambahnya kemampuan saya dalam dunia tulis menulis. Terimakasih J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar