HUKUM SAKRAL!
by: ~SAZHAH~
Tak banyak sahabat dalam hidupku. “Sahabat
adalah sekian banyak teman yang ku pilah, dan ku jadikan seseorang yang
berharga. Maka harus lebih ku perhatikan dari pada teman biasa.” Perkataan itu
sudah ku jadikan tekanan dalam hidupku sejak SMP. Aku adalah orang yang supel,
dimana pun aku berada selalu saja ada orang baru yang ku kenal. Banyak orang
yang mengenalku, sedang aku mudah lupa. Karena kelemahanku adalah tak mampu
mengigat satu demi satu nama orang yang pernah berkenalan denganku. Semua
berjalan baik-baik saja, persahabatanku dengan genk-genk kecil dari SMP sampai dengan SMK berjalan dengan baik,
meski tak sama rupa dan sikapnya. Di SMP, sekian banyak teman yang ku punya
yang ku pilah menjadi sahabat hanyalah 2, yaitu Lina adik kelas yang duduk di
kelas 7.3 dan Feby adik kelas di kelas 8.2, ketika itu aku sedang duduk dikelas
9.4. SMP adalah masa aku menutup dir teman-teman seangkatan, karena menurutku
adik kelas lebih asyik diajak bersahabat. Terbukti dari sahabat yang ku pilah
saat itu.
Waktu bergulir membawaku hinggap ke
jenjang yang lebih atas. SMK, ya SMK adalah pilihan ku selepas lulus dari SMP.
Aku tak punya tujuan pasti selepas perpisahan SMP. Tak ada bayangan dalam
akalku untuk meneruskan ke jenjang jurusan atau jenjang patokan. Masuklah aku
kepada jenjang jurusan, yaitu SMK. Masuk SMK dengan mengambil jurusan Akuntasi
saja, hanya berdasarkan cerita Umi ketika ia SMEA. Aku pun mencoba tes Akuntasi
disebuah SMKN besar di bogor. Alih-alih lolos, aku malah tidak mendapatkan
apa-apa. Karena sistemnya yang ketika gagal, yasudah. Tak pantang aku dalam
mencoba, rasa penasaranku pada Akuntasi masih memanas, daftarlah aku pada SMK
swasta yang cukup terkenal kenakalan muridnya itu. Tawuran, pergaulan bebas,
dan segala hal buruk melekat pada sekolah swasta pilihan Abi saat itu. Namun
itu tak berefek apa pun, karena Abi sudah memilih yang terbaik. Sebenarnya
bukan terbaik, hanya saja ada teman sepergerakanya, makanya Abi ngebet
menyekolahkan aku disana, sama seperti saat aku masuk SMP swasta pilihannya,
alasannya pun sama. Karena beliau percaya, kalau ada teman sepergerakan,
anaknya akan terjaga. Padahal itu tidak menjamin. Apalagi di SMK, peran teman
sepergerakan yang Abi percayakan untuk menjagaku itu pun malah menelantarkan
aku dalam keterpurukan. Mencoba dengan jurusan yang sama, Akuntasi. Alhasil pun
tidak meloloskan aku kedalamnya. Dan aku baru sadar kalau ilmu hitungku jauh
dari kata baik. Untuk hitungan membagi manual saja aku tak mampu, masih harus instan melulu menggunakan kalkulator.
Meski saat Les Sempoa dulu nilaiku terbaik, itu tak mampu memperbaiki ilmu
hitung dalam bentuk sebenarnya. Sungguh, aku pun bingung dengan retorika ilmu
hitung dalam diriku itu, mungkin memang bukan itu ranah terbaik untukku. Diarahkanlah
aku pada jurusan Administrasi Perkantoran oleh pihak sekolah. Sikap tomboy
bawaan SMP, karena keahlianku dalam Ekskul Karate membuat kesan enggan sekali
menerima putusan itu. Namun apa daya, penerimaan siswa baru diseluruh sekolah
sudah dipenghujung penutupan. Dengan biaya pas-pasan yang dimiliki kedua orang
tua, Aku hanya bisa pasrah menerima semua yang sudah ditakdirkan-Nya. Masa SMKku
pun sama, dalih bersahabat yang melekat dalam diriku masih menjadi suatu hukum
sakral yang harus dilakukan. Tak pernah aku sangka, orang yang tidak sama
sekali dekat denganku kala SMP, kini ialah yang menjadi pilahan sahabat dimasa
SMKku. Leli namanya, cantik, pintar, baik, dan pengertian adalah kelebihan yang
dimilikinya. Manja adalah sikap yang aku sukai. Karena baru ku sadari, sahabat
dalam dalih hidupku itu adalah berpatokan pada sikap yang manja. Orang yang mau
menggantungkan seluruh hidupnya
kepadaku. Karena untuk sahabat aku berani mati-matian memperhatikannya. Meski
pada SMK aku ber-genk bersama 7 orang
lainnya, yaitu. Tanti, Vera, Milda, Disa, Yuli, Tika, dan Fani. Dengan nama
‘Ceri Belek’ kita bergaung. Aku masih menganggap mereka hanya sebatas teman,
namun tentunya berbeda perlakuanku Kepada
7 orang temanku itu, mereka termasuk kedalam semi sahabat. Dimana perlakuanku
sama dengan perlakuanku kepada sahabat, namun berbeda lumayan jauh derajatnya
dengan sahabat yang ada pada hukum sakral buatanku itu. Itulah kisah
persahabatan dimasa-masa yang masih labil. Dengan lingkungan orang sekitar yang sama-sama mengerti kelabilan itu. Hingga
tak pernah ada permasalahan yang larut dan membuat semangat hidup runtuh
seruntuh-runtuhnya. Karena pada dua masa itu pun sahabat hanya sebatas masa.
Sahabat ku pada masa SMP berakhir ketika aku SMK, begitupun seterusnya. Belum
ada tujuan khusus dalam persahabatanku dimasa itu. Masih suka sama suka dan
asyik sama asyik.
Aku tak pernah menyangka bisa
sampai pada pendidikan tertinggi. Aku sudah masuk dunia perkuliahan saat ini.
tepat diulang tahunku yang ke 17th aku perdana masuk kuliah. Kecakapan
dalam berkomunikasi mampu menimbun banyak kenalan dikampus yang tidak besar
juga tidak kecil ini. sebelum masuk dunia perkuliahan, aku memiliki seseorang
yang sudah kujadikan daftar sahabat pada masa nganggur seusai perpisahan SMK. Namanya
adalah Fatimah, aku bertemu dengannya ketika ada acara camp yang diadakan oleh
salah satu organisasi, yang dibawahi oleh salah satu partai islam. Awal
pertemuan yang tak pernah ku pikirkan bisa menjadi ujung persahabatan. Karena
dia bukanlah orang yang berwatak manja seperi Lindi, Festi, atau Leli. Dia
adalah orang yang hampir sewatak denganku. Bahkan dia lebih supel, dia tidak
punya hukum sakral persahabatan seperti aku. Kami bersahabat dengan indahnya,
dia yang pertama kali mengajak aku karaoke disalah satu mall besar di bogor
usai pengumuman kelulusan SMK saat itu. Dan begitu banyak pengalaman yang indah
yang bisa ku ambil saat jalan-jalan bersamanya. Kami masih bersahabat baik
sampai sekarang, bahkan dia yang lumayan banyak menyadarkanku bahwa sahabat itu
luas, tidak sempit seperti apa yang aku jadikan hukum sakral selama ini.
Pendidikan agama islam adalah
jurusan yang aku fokuskan dalam dunia perkuliahan ini. kerudung panjang dan
double serta baju longgar dan rok sudah menjadi ciri khasku saat ini, berbeda
dengan dulu ketika ada pada dua masa itu, anti sekali aku mengenakan rok.
Celana jeans dan kerudung paris tipis adalah pakaian khasku dulu. Meski kedua
orang tuaku sudah sejak lama menyadarkan aku, hidayah itu baru muncul ketika
acara camp yang diadakan oleh organisasi
berunderbrow partai islam itu. Partai islam yang juga menjadi salah satu aktivitas
kedua orang tuaku ketika mereka masih remaja hingga kini mempunyai anak yang
sudah mau dewasa. Kampus yang menjajaki banyak unit kegiatan pun ku abaikan
begitu saja. Aku sudah fokus pada latar belakang oraganisasi itu. Satu fikroh
atau tidak. Itu adalah tujuan ku memasuki UKM kini. Berbeda halnya dengan dua
masa itu, tak pernah sama sekali terpikir olehku fikroh dan arah tujuan Ekskul
yang ku geluti. Semua ku ikuti asal aku bahagia. Begitu pun dengan sahabat yang
kumiliki, kini bukan lagi orang manja yang menjadi tolak ukur lebih untuk
bersahabat denganku, tapi fikroh. Dalam kelas, ku dapati 3 orang sahabat yang
satu fikroh denganku, namanya adalah Mba Ananda, dia adalah Akhwat inpirator
buatku. Dengan usia yang juga sudah jauh diatasku pun jua gelar Hafizhah yang
sudah dimilikinya serta sikap yang mencerminkan jati diri Akhwat secara kaffah,
yang membuat aku terkesima dan selalu menggantungkan masalah keAkhwatanku kepadanya.
Akhwat adalah gelar baru dalam hidupku, gelar yang akan ku kejar dengan
perubahan sikap yang sedikit demi sedikit namun pasti. Kemudian ada Meta, dia
adalah kawan yang cerdas sekali. Hadist adalah kelebihannya, karena lingkungan
pesantrenyalah yang banyak memback up kemampuannya dalam Ilmu Hadist. Dan yang
terakhir adalah Sharin, dia adalah kawan yang kujadikan sahabat dengan dalih
sakralku itu. Meski telah sadar, masih saja ku jadikan hukum dalam hidup. Ternyata,
sadarku belum mampu mengubah apapun dalam kesadaranku. Dia adalah orang yang
begitu menarik, cara berpakaian serta gaya hidup yang serba wah namun tetap
satu fikroh itulah yang menggiringku begitu erat dengannya. Hampir satu
semester pertama itu aku selalu berdua dengannya. Hingga semua orang yang
mengenalku pun mengenalnya sudah biasa dengan kedekatan kami. Bukan tanpa
masalah bersahabat dengan orang yang satu fikroh, apalagi setelah kita tinggal
bersama dirumah wajib mahasiswa yang diwajibkan oleh Rektor untuk mahasiswa
baru pada semester awal. Aku tau sikapnya, namun sikap cuekku tetap mengalir.
Aku menerima apapun kekurangan dan kelebihannya tanpa berubah sikap sedikit
pun. Dengan harap, mendapatkan perlakuan yang sama. Namun ternyata Sharin bukanlah orang seperti apa yang kubayangkan.
Meski sedikit manja namun tak bisa aku gunakan dalih sakral untuk
memperlakukannya dalam bersahabat. Kita begitu sering cekcok dan ‘diem-dieman’
adalah sesuatu yang biasa untuk kami. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk
keluar dari Rumah Wajib itu. Sempat kita tak tegur sapa, karena dia mempunyai
watak yang keras. Jika sudah tidak suka, mudah saja untuknya melupakan begitu
saja. Sedang aku tak bisa seperti itu, mempunyai jiwa yang sedikit perasa
membuat aku banyak berinteropeksi dan terus mendekatinya. Hinga kamipun baik
kembali. Hanya saja satu yang memang tak bisa dipaksa. Aku yang begitu giat
dalam organisasi, tak sama dengannya yang hanya ingin ilmu dan pencerdasan. Aku
sering memaksanya untuk ikut ini-itu, sedang dia tak suka dipaksa. Itu pun
salah satu sebab kenapa kami bersiteru. Namun itu tidaklah seberat kasus
persahabatanku dengan salah seorang temanku yang juga satu kelas, namanya Reni.
Aku tak pernah menyangka akan menjadi sahabatnya, karena fikroh yang beda sejak
awal. Dia sudah 3 tahun lebih tua dari aku, selama itu pun dia bergelut dalam
sekolah yang didirikan oleh organisasi yang bertentangan denganku. Organisasi
anti politik dan anti parpol. Dan aku sedikit menjauhi orang-orang yang ada
didalamnya. Begitu pun dengan Reni, sejak awal aku tak begitu banyak ingin tahu
tentangnya. Namun, semenjak aku tahu bahwa ia pun turut serta dalam organisasi
intra yang ber-underbrow partai islam yang kini ku anuti. Berbagai diskusi
telah kami lewati dan kami bincangkan dengan tuntas. Nah, sebab itulah kami
menjadi dekat dan menjadi bersahabat. Rambu kuning masih menjadi penjagaanku
selama bersahabat denganya, namun lambat laun rambu itu menjadi bebas. Melintas
bebas karena berubah menjadi hijau. Kebersamaan kami tak bisa terbendung lagi.
Keakraban kami sudahlah sangat dekat. Dan sahabatku kini adalah 2 orang. Sama
seperti masa SMP. Namun bedanya, saat ini aku memilih berdasarkan fikroh dan
kesesuaian dalam berpikir. Sharlin dan Reni adalah sahabat yang begitu dekat
denganku. Segala tawa, canda, curhat sepenunya, pun jua tangis kami jalani
bertiga. Meski masih banyak kejanggalan dihati Sharlin sampai detik ini. Pun
mereka tak sesakral aku dalam memaknai persahabatan ini. Akulah yang terlalu
mendalami hingga larut samapai kelembah, sedang mereka biasa saja. Semester 2
adalah semester dimana kedekatan kami semakin menjadi. Rumah Qur’an adalah
tempat kami tinggal, satu kamar, satu kelas, dan satu organisasi. Sudahlah
kumplit untuk semakin akrab bukan? Namun lagi-lagi satu atap adalah tempat
dimana keakraban harus menjadi renggang. Sharlin yang sudah pernah tinggal satu
atap denganku, menghadapiku begitu santai dengan mencoba biasa saja. Namun Reni
yang baru tinggal satu atap denganku, agaknya risih dengan segala perlakuanku
didalam ruang yang satu itu. Semangat yang sering ku gemborkan kepada halayak
diluar sangatlah berbeda dengan perlakuanku didalam yang kadang malas-malasan.
Tak nampak jiwa muslim negarawanku. Itu
mungkin salah satu yang membuat segores luka dalam hatinya, hingga kekecewaan
menumpuk dalam dirinya. Pada pertengahan semester Sharlin memutuskan untuk
fokus pada tujuannya dalam menghafal Al-Qur’an. Salah satu pesantren Tahfidz
pencetak Hafidzhah dengan biaya yang free serta gelar S1 yang sudah tidak
diragukan lagi kemampuannya di daerah Subang. Dia pun keluar dari RQ tempat
kami berteduh peluh bersama-sama ini. Sisalah Aku dengan Reni. Reni yang begitu
rajin shaum sunnah daud, sholat Dhua, dan amalan-amalan baik lainnya
mencerminkan kesabaran dalam dirinya. Terbukti selama ini aku merasa nyaman
kala bersamanya. Termotivasi sekali hidupku. Namun ternyata, semua itu sirna. 3
minggu setelah Sharlin keluar dari RQ, ribuan masalah menghantam kami.
Diem-dieman adalah sikap biasa kami kala bercekcok sikap. Hingga berujung
kepada diam yang sebenarnya diam. Selama ini memang akulah awal mula
pertegkaran. Dan Reni adalah orang yang berlapang dada untuk memulai percakapan
dan membuka kembali canda tawa diantara kami. Namun memang akhir-akhir ini dia
sangatlah banyak perubahannya. Entahlah karena apa, perkiraanku adalah pada
organisasi yang berbeda fikroh itu. Ternyata samapai detik ini pun dia masih
menggelutinya, bahkan semakin kuat. Sedang dari organisasi yang aku geluti ini
begitu kurang pem-backupannya. Belum lagi masalah internal yang membuat kita
sulit untuk bergerak. Masalahnya sangatlah simple. Hari itu adalah hari dimana
aku pergi kebandung, dan besoknya adalah hari pernikahan kaka alumni aktivis
satu organisasi. Sebagai kader terbaik tak lupa aku ajak Reni untuk turut andil
dalam acara tersebeut.
“Ren, sore ini gue balik. Ke nikahannya Teh Rini yu.” Ajakku
lewat sms
“Engga ah Fes, guemah ga diundang.” Balasan yang begitu
cepat ku dapatkan.
“HAH? Eh gue Tanya elu ikut organisasi apa? Ya kali Teh Rini
mau ngundang Aktivis yang bejibun satu-satu. Ayolah Ren kita bangkit dari
kebosanan yang bertumbuh semkain lebat itu.” Jawabku penuh semangat.
“udahlah Fes, gue ga mau memperpanjang.” Jawabnya singakat.
Namun, karena aku adalah orang yang terlalu bersemangat dan
sistem pengajakan yang terkesan paksa, maka ku perpanjanglah percakapan itu,
hingga kepada pembahasan beda fikroh dan lain-lain. Namun aku mengakhirkannya
dengan kata maaf. Entah sampai atau tidak kata maaf itu. Karena sesampainya
dirumah, raut wajahnya berbeda dengan biasanya. Tertekuk murka kepadaku. Aku hanya
menghadapinya dengan biasa. Mencoba untuk dewasa dengan bersikap biasa. Namun
sayangnya, permasalahan itu tercium jelas oleh Umi (Pembina kami di Rumah
Qur’an ini) setelah 3 hari rumah sunyi tanpa cada tawa kami. Setelah
diselesaikan aku pikir dia akan bersikap seperti biasa. Namun nyatanya sama
saja tanpa ada perubhana sama sekali, bahkan makin memperburuk suasana. Aku
yang baru saja pulang pengajian kelas, masih belum mendapatkan raut bisanya di
sore itu. Bingung sekali menghadapi semua ini, tak biasa aku menerima perlakuan
hambar serta acuh tak acuh dari seorang Reni yang riang, candawan, serta
penyabar itu. Mulut yang selalu cemberut serta mata yang tak pernah mau
menatapku itu sudah ku dapati hampir satu bulan belakang ini. Meski kini,
kadang ia tersenyum dan bersikap ramah. Namun hanya sesaat dan kembali hambar
lagi. Aku baru saja selesai UAS. Sebelum UAS aku sempat bertindak konyol. Aku
kabur dari Ma’had dengan tujuan mendapatkan kesadaran dari Reni dan dia kembali
seperti semula. Alih-alih mendapatkan perlakukan yang kembali seperti semula,
aku malah dapat hukum dari Umi, karena melanggar peraturan pergi tanpa izin.
Bayar denda 50.000 atau piket Ma’had selama 2 hari full. Puas sudah aku
membersikan semua ruangan serta mencuci piring dan memasak nasi selama 2 hari
full seusai UAS. Namun perlakuannya masih saja begitu. Aku pun mulai mengerti
dan mencoba untuk menjauh. April, teman satu atapku dulu saat di Rumah Wajib
Mahasiswa pun memberi saran supaya aku tidak mengharapkan apa-apa lagi kepada
Reni. Sharlin sepenuhnya memihak kepada Heni, karena saat awal kejadian ini, Reni
segera melaporkan semuanya kepada Sharlin. Sedang Sharlin yang juga tidak
terlalu suka dengan aku, kini mungkin meninggalkan kesan buruk diakhir masanya
disini. Karena esok lusa Sharlin sudah berangkat ke pesantren Tahfdiz yang
bertempat disubang itu.
Kini tersisa Fatimah serta teman-teman
yang ku abaikan karena hukum sakral yang kubuat sejak awal menikmati hidup
bersahabat itu. Kasus akhir yang cukup membuatku jera. Hukum sakral itu mungkin
akan ku buang jauh-jauh dari hidupku. Dan hatiku akan terbuka dengan lebar,
mengaga untuk memperlakukan semua dengan
sama. Sayang sekali, teman yang berserakan, ku dapatkan secara sengaja itu ku
abaikan begitu saja. Selamat tinggal Hukum sakral dan selamat datang kebebasan.
Teman adalah Sahabat yang berbaris menantimu menatapnya dengan mata yang sama
dan perlaku yang serupa.
Sekian….. Semoga kisah ini bisa menjadi cerminan untuk
kalian yang serupa. Semoga menjadi Inspirasi dalam langkah kehidupan
selanjutnya. Kritik dan saran sangatlah dibutuhkan untuk bertambahnya kemampuan
saya dalam dunia tulis menulis. Terimakasih J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar